Pembatal-pembatal Puasa

15.45 Add Comment
image by al-uyeah.blogspot.com
Diantara pembatal-pembatal puasa adalah,

a. Makan dan minum dengan sengaja

Allah Ta'ala berfirman:

“Makan dan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam dari fajar kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam.” (al-Baqarah: 187)

Namun jika seseorang lupa maka puasanya tidak batal, berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam:

إِذَا نَسِيَ فَأَكَلَ وَشَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ

Jika ia lupa lalu makan dan minum hendaklah dia sempurnakan puasanya karena sesungguhnya Allah yang memberinya makan dan minum.” (HR. al-Bukhari no. 1831 dan Muslim no. 1155)

b. Keluar darah haid dan nifas

Hal ini sebagaimana dikatakan ‘Aisyah radiyallahu'anha, “Adalah kami mengalami (haid), maka kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan mengqadha shalat.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Para ulama telah sepakat dalam perkara ini.

c. Melakukan hubungan suami istri di siang hari Ramadhan

Hal ini berdasarkan dalil Al-Qur’an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama. Bagi yang melakukannya diharuskan membayar kaffarah yaitu membebaskan budak. Bila tidak mampu maka berpuasa dua bulan secara terus-menerus. Bila tidak mampu juga maka memberi makan 60 orang miskin. Tidak ada qadha baginya menurut pendapat yang kuat. Hukum ini berlaku secara umum baik bagi laki-laki maupun perempuan.

Adapun bila seseorang melakukan hubungan suami-istri karena lupa bahwa dia sedang berpuasa, maka pendapat yang kuat dari para ulama adalah puasanya tidak batal, tidak ada qadha, dan tidak pula kaffarah.

Hal ini sebagaimana hadits Abu Hurairah radiyallahu'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ نَاسِيًا فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ وَلَا كَفَّارَةَ

“Barang siapa yang berbuka sehari di bulan Ramadhan karena lupa, maka tidak ada qadha atasnya dan tidak ada kaffarah (baginya).” (HR. al-Baihaqi, 4/229, Ibnu Khuzaimah, 3/1990, ad-Daruquthni, 2/178, Ibnu Hibban, 8/3521, dan al-Hakim, 1/595, dengan sanad yang shahih)

Kata ifthar mencakup makan, minum, dan bersetubuh. Inilah pendapat jumhur ulama dan dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan asy-Syaukani rahimahumallah.

d. Berbekam

Ini termasuk perkara yang membatalkan puasa menurut pendapat yang rajih, berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam:

أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ

“Telah berbuka (batal puasa) orang yang berbekam dan yang dibekam.” (HR. at-Tirmidzi, 3/774, Abu Dawud, 2/236, 2370—2371, an-Nasa’i, 2/228, Ibnu Majah no. 1679, dan lainnya)

Hadits ini sahih dan diriwayatkan oleh kurang lebih delapan belas sahabat serta disahihkan oleh para ulama seperti al-Imam Ahmad, al-Bukhari, Ibnul Madini, dan yang lainnya. Ini merupakan pendapat al-Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahuyah serta dikuatkan oleh Ibnul Mundzir.

Ada beberapa perkara lain yang juga disebutkan sebagian para ulama bahwa hal tersebut termasuk pembatal puasa. Di antaranya:

a. Muntah dengan sengaja

Namun yang rajih dari pendapat ulama bahwa muntah tidaklah membatalkan puasa secara mutlak, sengaja atau tidak sengaja. Sebab asal puasa seorang muslim adalah sah, tidaklah sesuatu itu membatalkan kecuali dengan dalil. Adapun hadits Abu Hurairah radiyallahu'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

مَنْ ذَرَعَهُ الْقُيْءُ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ وَمَنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ

“Barang siapa yang dikalahkan oleh muntahnya maka tidak ada sesuatu atasnya dan barang siapa yang sengaja muntah maka hendaklah dia mengqadha (menggantinya).” (HR. Ahmad, 2/498, at-Tirmidzi, 3/720, Abu Dawud, no. 2376 dan 2380, Ibnu Majah no. 1676)

Hadits ini dilemahkan oleh para ulama, di antaranya al-Bukhari dan Ahmad. Juga dilemahkan oleh asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahumullah.

Namun jika muntah tersebut keluar lalu dia sengaja memasukkannya kembali maka hal ini membatalkan puasanya.

b. Menggunakan cairan pengganti makanan seperti infus

Terjadi perselisihan di kalangan para ulama dan yang rajih bahwa suntikan terbagi menjadi dua bagian:

1. Suntikan yang kedudukannya sebagai pengganti makanan, maka hal ini membatalkan puasanya. Sebab bila didapatkan sesuatu yang termasuk dalam penggambaran yang sama dengan nash-nash syariat maka dihukumi sama seperti yang terdapat dalam nash.

2. Suntikan yang tidak berkedudukan sebagai pengganti makanan, maka hal ini tidaklah membatalkan puasa. Sebab gambarannya tidak seperti yang terdapat dalam nash baik lafadz maupun makna. Tidak dikatakan makan dan tidak pula minum, serta tidak pula termasuk dalam makna keduanya. Asalnya adalah sahnya puasa seorang muslim sampai meyakinkan pembatalnya berdasarkan dalil yang syar’i. (lihat fatwa asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Fatawa Islamiyyah, 2/130, fatwa asy-Syaikh Bin Baz dalam Fatawa Ramadhan, 2/485, Fatwa al-Lajnah ad-Da’imah, 2/486, dan fatwa Syaikhul Islam rahimahumullah dalam Haqiqatu ash-Shiyam, 54—60)

Namun asy-Syaikh Muqbil rahimahullah menasihatkan bagi orang yang sakit untuk berbuka dan tidak berpuasa, agar tidak terjatuh ke dalam sesuatu yang menimbulkan syubhat. (Min Fatawa ash-Shiyam hlm. 6)

c. Onani

Pendapat yang rajih dari pendapat para ulama bahwa onani tidaklah membatalkan puasa, namun termasuk perbuatan dosa yang diharamkan melakukannya, baik ketika berpuasa maupun tidak. Allah Ta'ala berfirman menyebutkan di antara ciri-ciri orang mukmin:

“Dan (mereka adalah) orang yang memelihara kemaluannya, kecuali kepada istri-istrinya atau budak wanita yang mereka miliki. Maka sesungguhnya (hal itu) tidak tercela. Maka barang siapa yang mencari selain itu, mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (al-Mu’minun: 5—7)

"Pembatal Puasa"
AsySyariah.com

Mencicipi Masakan Saat Puasa

15.45 Add Comment
image by al-uyeah.blogspot.com
Mencicipi masakan tidaklah membatalkan puasa, dengan menjaga jangan sampai ada yang masuk kerongkongan.

Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abbas radiyallahu'anhum dalam sebuah atsar, “Tidak apa-apa bagi seseorang untuk mencicipi cuka dan lainnya yang akan dia beli.” (Atsar ini dihasankan asy-Syaikh al-Albani di al-Irwa’ no. 937)

dikutip dari "Hal-hal yang Diangap Membatalkan Puasa"
ditulis oleh: Al-Ustadz Saifuddin Zuhri, Lc
AsySyariah.com

Amalan Berbuka Puasa

15.45 Add Comment
Amalan Berbuka Puasa | al-uyeah.blogspot.com
Salah satu kebahagiaan yang dirasakan orang berpuasa adalah saat tiba waktu berbuka. Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam mengabarkan bahwa umatnya senantiasa dalam kebaikan selama mereka selalu menyegerakan ifthar (berbuka). Sementara untuk makan sahur, yang dianjurkan adalah mengakhirkannya.

Waktu Berbuka

Allah Ta'ala telah menjelaskan pada kita tentang waktu dibolehkannya seseorang yang berpuasa untuk berbuka yaitu dengan tenggelam (terbenam)nya matahari, sebagaimana firman Allah Ta'ala:

“Kemudian sempurnakanlah puasa itu hingga (datang) malam.” (al-Baqarah: 187)

Demikian pula Nabi Muhammad Shallallahu'alaihiwasalam telah menjelaskan dalam haditsnya. Dari ‘Umar bin al-Khaththab radiyallahu'anhu, berkata bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ وَأَدْبَرَ النَّهَارُ وَغَابَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ

“Apabila malam telah datang dan siang telah pergi serta matahari telah terbenam maka sungguh orang yang berpuasa telah berbuka.” (Muttafaqun ‘alaih)

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Makna (sabda Nabi Shallallahu'alaihiwasalam di atas) adalah puasanya telah selesai dan sempurna, dan (pada waktu matahari sudah tenggelam dengan sempurna) dia bukan orang yang berpuasa. Maka dengan terbenamnya matahari habislah waktu siang dan malam pun tiba, dan malam hari bukanlah waktu untuk berpuasa.” (Syarh Shahih Muslim, 7/210)

Dari keterangan di atas, dapatlah kita ketahui bahwasanya ketika menjelang malam dan siang pun telah pergi, serta matahari telah benar-benar tenggelam, maka itulah saat dibolehkannya bagi kita untuk berbuka puasa.

Hal-hal yang Disunnahkan Ketika Berbuka

1. Bersegera ifthar (berbuka) ketika telah tiba waktunya.

Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ

“Senantiasa manusia dalam kebaikan selama mereka menyegerakan ifthar (berbuka).” (Muttafaqun ‘alaih dari sahabat Sahl bin Sa’d radiyallahu'anhu)

Al-Imam Ibnu Daqiq al-‘Ied rahimahullah mengatakan, “Hadits ini merupakan bantahan terhadap orang-orang Syi’ah yang mengakhirkan berbuka puasa hingga tampak bintang-bintang.” (disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari, 4/234)

Keutamaan bergegas untuk berbuka ketika telah tiba waktunya:

a.    Mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam.

b.    Bersegera untuk berbuka ketika telah tiba waktunya merupakan akhlak para Nabi.

Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu ad-Darda’ radiyallahu'anhu, sesungguhnya Nabi Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

ثَلَاثٌ مِنْ أَخْلَاقِ النُّبُوَّةِ؛ تَعْجِيْلُ الْإِفْطَارِ، وَتَأْخِيْرُ السَّحُورِ، وَوَضْعِ الْيَمِينِ عَلَى الشِّمَالِ فِي الصَّلَاةِ

Tiga (perkara) termasuk akhlak kenabian (yaitu): menyegerakan berbuka, mengakhirkan sahur, dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat.” (HR. ath-Thabarani, dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah, lihat Shahihul Jami’ish Shaghir, 1/583 no. 3038)

c. Menyelisihi Yahudi dan Nasrani

Mengakhirkan berbuka hingga tampak bintang-bintang merupakan perbuatan Yahudi dan Nasrani (Syarhuth-Thibi, 5/1584 dan Fathul Bari, 4/234). Sedangkan kita dilarang menyerupai mereka. Oleh karena itu, bersegera untuk berbuka puasa ketika telah tiba waktunya termasuk menyelisihi perbuatan mereka. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah radiyallahu'anhu dari Nabi Shallallahu'alaihiwasalam, beliau bersabda:

لاَ يَزَالُ الدِّينُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ لِأَنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُونَ

“Agama ini senantiasa tampak, selama manusia bersegera untuk berbuka puasa karena Yahudi dan Nasrani mengakhirkan (ifthar/berbuka).” (Hasan, HR. Abu Dawud dan lainnya, lihat Shahih Sunan Abi Dawud, 2/58 no. 2353, Shahihul Jami’ish Shaghir, 2/1272 no. 7689, dan al-Misykah, 1/622 no. 1995)

Al-Imam Sarafuddin ath-Thibi rahiamhullah berkata, “Dalam sebab ini (yang terdapat dalam hadits ‘karena Yahudi dan Nasrani mengakhirkan [ifthar]’) menunjukkan bahwa penopang agama yang lurus ini dengan menyelisihi musuh-musuh (agama Islam) dari Yahudi dan Nasrani. Dan sesungguhnya mencocoki mereka merupakan keretakan dalam agama.” (Syarhuth-Thibi, 5/1589 no. 1995)

2. Bacaan ketika berbuka

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radiyallahu'anhum beliau berkata, Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam apabila berbuka beliau mengatakan,

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ

Rasa haus telah pergi dan urat-urat telah terbasahi serta mendapat pahala insya Allah.” (Hasan, HR. Abu Dawud, lihat Shahih Sunan Abi Dawud, 2/59 no. 2357 dan al-Irwa’, 4/39 no. 920)

3. Berbuka dengan ruthab (kurma basah), bila tidak dijumpai maka berbuka dengan tamr (kurma kering), dan bila tidak ada maka dengan minum air.

Sebagaimana amalan Nabi Shallallahu'alaihiwasalam yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radiyallahu'anhu, beliau berkata,

“Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam berbuka dengan ruthab sebelum melaksanakan shalat (Maghrib), maka jika tidak ada ruthab (beliau berbuka) dengan tamr, jika tidak ada (tamr) maka beliau berbuka dengan meneguk air.” (Hadits hasan sahih, riwayat Abu Dawud dan lainnya, lihat Shahih Sunan Abi Dawud, 2/59 no. 2356 dan al-Irwa’, 4/45 no. 922)

Keutamaan Memberi Makanan Berbuka

Suatu kenikmatan yang sangat besar apabila dengan rezeki yang telah Allah Ta'ala karuniakan, kita dapat menyisihkan sebagiannya untuk memberi makanan berbuka kepada orang-orang yang berpuasa karena pahalanya yang sangat besar. Nabi Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

“Barang siapa memberi makanan berbuka seorang yang puasa maka baginya (orang yang memberi buka) semisal pahala (orang yang puasa) tanpa mengurangi sedikit pun pahala orang yang puasa.” (HR. at-Tirmidzi dan lainnya, dari Zaid bin Khalid radiyallahu'anhu)

Al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata, “Hadits ini hasan sahih.” (al-Jami’ush Sahih, 3/171 no. 807. Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah mensahihkan hadits ini, lihat Shahihul Jami’ish Shaghir, 2/1095 no. 6414)

Setelah memandang begitu besarnya pahala yang akan didapatkan oleh orang-orang yang memberi makanan berbuka bagi orang yang berpuasa, selayaknyalah bagi kita untuk berlomba-lomba dalam meraih keutamaan yang sangat besar ini dengan menyisihkan rezeki yang Allah Ta'ala karuniakan kepada kita untuk memberi makanan berbuka orang yang berpuasa. 

Sekalipun kita hanya mampu memberikan kepada satu atau dua orang saja. Atau mungkin kita hanya mampu memberi satu biji kurma atau sekadar air minum. Janganlah kesempatan yang baik ini kita sia-siakan!

Doa Orang yang Diundang Makan/Minum untuk Orang yang Mengundang

Ketika kita diundang untuk makan/minum, disunnahkan bagi yang diundang untuk mendoakannya ketika telah selesai makan/minum dengan doa yang telah dicontohkan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam:

أَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُونَ وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ الْأَبْرَارُ وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ الْمَلَائِكَةُ

“Semoga orang-orang yang puasa berbuka di sisi kalian dan orang-orang yang saleh lagi bertakwa makan makanan kalian serta para malaikat mendoakan kalian.” (Sahih, HR. Abu Dawud, lihat Shahih Sunan Abi Dawud, 2/459 no. 3854 dan Shahihul Jami’ish Shaghir, 1/253 no. 1137)

Juga perlu diingat bahwa dalam makan baik sahur atau berbuka, kita dilarang berlebih-lebihan. 

Allah Ta'ala berfirman:

“Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (al-An’am: 141)

Demikian yang dapat kami aturkan ke hadapan anda mengenai hal-hal yang berkaitan dengan sahur dan ifthar berikut sunnah-sunnahnya.
Wallahu a’lam.

dikutip dari "Sahur dan Berbuka"
ditulis oleh: Al-Ustadz Hariyadi, Lc.
AsySyariah.com

Golongan Mendapat Keringanan Tidak Berpuasa

15.45 1 Comment
image by al-uyeah.blogspot.com
Islam adalah agama yang sempurna dan mudah. Meski puasa Ramadhan merupakan kewajiban bagi setiap muslim, namun dalam keadaan tertentu seseorang diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Berikut penjelasan tentang siapa saja yang dibolehkan untuk tidak berpuasa dalam bulan Ramadhan.

Musafir 

Musafir adalah orang yang melakukan perjalanan sejauh jarak (yang dianggap) safar. Jarak safar menurut mazhab yang paling kuat adalah jarak yang dianggap oleh adat atau masyarakat setempat sebagai safar atau bepergian. (Majmu’ Fatawa, 34/40—50, 19/243)

Orang yang melakukan perjalanan semacam ini diperkenankan untuk tidak melakukan puasa, sebagaimana yang Allah Ta'ala firmankan:

“Barang siapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (ia wajib mengganti) sejumlah hari yang ia tinggalkan pada hari-hari lain.” (al-Baqarah: 184)

Hamzah bin ‘Amr al-Aslami radiyallahu'anhu yang dia adalah orang yang banyak melakukan puasa, bertanya kepada Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam, “Apakah saya berpuasa di waktu safar?” Beliau menjawab:

إِنْ شِئْتَ فَصُمْْ وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ

“Puasalah jika kamu mau dan berbukalah jika kamu mau.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dari Anas bin Malik radiyallahu'anhu, ia berkata, “Saya melakukan safar bersama Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam di bulan Ramadhan. Orang yang berpuasa tidak mencela yang tidak berpuasa dan yang tidak berpuasa juga tidak mencela yang puasa.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim)

Hadits-hadits itu menunjukkan dibolehkannya tidak berpuasa bagi orang yang melakukan safar. Namun jika ia ingin berpuasa juga boleh, karena Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam pernah berpuasa dalam keadaan safar sebagaimana kata Abu ad-Darda radiyallahu'anhu:

“Kami keluar bersama Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam di bulan Ramadhan dalam keadaan sangat panas, sampai-sampai salah seorang dari kami meletakkan tangannya di atas kepalanya karena panasnya. Tidak ada yang berpuasa di antara kami kecuali Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dan Abdullah bin Rawahah.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 2687 dan Muslim no. 2687)

Puasa itu dilakukan jika memang mampu dan tidak bermudarat bagi dirinya, sebagaimana ucapan Abu Said al-Khudri radiyallahu'anhu:

“Dan mereka berpendapat, bagi yang mempunyai kekuatan lalu puasa maka itu baik. Bagi yang mendapati kelemahan lalu tidak puasa maka itu baik.” (Sahih, HR. at-Tirmidzi dalam Sunan-nya 3/92 no. 712 dan beliau katakan, “Hasan sahih.” Lihat juga Sifat Shaum an-Nabi hlm. 58)

Jadi, siapa saja yang fisiknya lemah dengan berpuasa saat safar, maka lebih baik ia tidak berpuasa. Lebih-lebih jika membawa kerugian pada dirinya, sebagaimana diriwayatkan Jabir radiyallahu'anhu, ia berkata bahwasanya Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam berada  pada sebuah safar. Beliau melihat orang dalam jumlah banyak dan ada seorang laki-laki yang dinaungi.

Beliau berkata, “Apa ini?”
Mereka menjawab, “Orang berpuasa.”
Beliau berkata, “Bukan termasuk kebaikan berpuasa di waktu safar.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim)

Kemudian bagaimana dengan safar di masa ini, di mana jarak yang begitu jauh dapat ditempuh dalam waktu sangat singkat, dengan pesawat terbang misalnya, apakah yang demikian menggugurkan keringanan untuk tidak berpuasa?

Jawabnya, tidak! Rukhshah (keringanan) untuk tidak berpuasa tetap ada selama itu disebut safar. Hal ini disebabkan Allah Ta'ala telah mengaitkan hukum ini dengan safar. Sehingga selama itu disebut safar, bagaimanapun ringannya, maka rukhshah itu tetap ada.

“Dan tidaklah Rabb-Mu lupa.” (Maryam: 64)

Orang yang tidak berpuasa di waktu safar memiliki kewajiban untuk mengqadha (mengganti) di bulan lain sebagaimana firman Allah Ta'ala di atas.

Orang Sakit

Sakit yang menjadikan dibolehkannya seseorang berbuka adalah keadaan yang jika ia berpuasa dalam keadaan tersebut akan membahayakan dirinya, menambah sakitnya, atau dikhawatirkan memperlambat kesembuhan. (Lihat Fathul Bari, 8/179, Syarhul ‘Umdah Kitab Shiyam karya Ibnu Taimiyah t 1/208-209, Shifat Shaum an-Nabi, hlm. 59)

Orang yang sakit mendapat keringanan untuk tidak berpuasa sebagaimana firman Allah Ta'ala:

“Barang siapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (ia wajib mengganti) sejumlah hari yang ia tinggalkan pada hari-hari lain. Allah menginginkan kemudahan atas kalian dan tidak menginginkan kesusahan.” (al-Baqarah: 185)

Bagi yang tidak puasa karena sakit, ia berkewajiban mengganti di selain bulan Ramadhan sesuai dengan jumlah hari yang ia tinggalkan.

Wanita Haid atau Nifas

Wanita haid tidak boleh atau haram berpuasa di bulan Ramadhan sebagaimana perkataan ‘Aisyah radiyallahu'anha ketika ditanya Mu’adzah bintu Abdurrahman:

“Mengapa orang yang haid mengqadha puasa dan tidak mengqadha shalat?”

‘Aisyah mengatakan, “Apakah kamu seorang Khawarij? (karena orang-orang Khawarij mewajibkan mengqadha shalat, red). Dahulu kami mengalami haid lalu kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintah mengqadha shalat.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim)

Riwayat ini menunjukkan bahwa wanita haid di zaman Nabi Shallallahu'alaihiwasalam tidak berpuasa. Bahkan para ulama mengatakan haram berpuasa dan jika berpuasa puasanya tidak sah. (Shifat Shaum hlm. 59)

Sementara orang yang nifas, para ulama menjelaskan bahwa hukum nifas sama dengan hukum haid. Ibnu Rajab berkata, “Darah nifas hukumnya sama dengan darah haid pada apa yang diharamkan dan apa yang digugurkan (karenanya). Telah terjadi ijma’/kesepakatan (dalam masalah ini). Bukan hanya satu saja dari kalangan ulama yang menyebutkan ijma, di antaranya Ibnu Jarir rahimahullah dan yang lainnya.” (Fathul Bari Syarh al-Bukhari karya Ibnu Rajab,1/332)

Ibnu Qudamah rahimahullah juga mengatakan, “Hukum wanita nifas sama dengan wanita haid pada segala yang diharamkan atasnya dan pada kewajiban yang gugur darinya. Kami tidak mengetahui ada khilaf (perbedaan pendapat) dalam masalah ini. Demikian pula dalam masalah diharamkan menjima’inya, dihalalkan bersebadan (tanpa jima’), dan menikmatinya pada selain kemaluan.” (al-Mughni, 1/432)

Bagi yang tidak puasa karena haid atau nifas memiliki kewajiban meng-qadha pada selain bulan Ramadhan sebagaimana dalam hadits di atas.

Orang yang Telah Renta

Yang dimaksud di sini adalah orang yang sudah lanjut usia, baik laki-laki maupun perempuan sehingga ia tidak mampu lagi berpuasa. Orang yang keadaannya demikian mendapat keringanan untuk tidak berpuasa. Hal itu berdasarkan firman Allah Ta'ala:

“…Siapa yang sakit di antara kalian atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (ia wajib mengganti) sejumlah hari yang ia tinggalkan pada hari-hari lain, dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak puasa) membayar fidyah yaitu memberi makan seorang miskin.” (al-Baqarah: 184)

Ibnu ‘Abbas radiyallahu'anhum mengatakan bahwa yang dimaksud adalah orang yang sudah tua yang tidak sanggup lagi berpuasa. Maka sebagai gantinya adalah memberi makan setiap harinya satu orang miskin setengah sha’ (kurang lebih 1,5 kg) dari hinthah (gandum). (HR. ad-Daruquthni dalam Sunan-nya, 2/207 dan disahihkan olehnya)

Jadi, orang yang tidak mampu berpuasa karena usia lanjut berkewajiban membayar fidyah untuk orang miskin sebagai ganti hari yang ia tinggalkan. Adapun fidyah insya Allah akan dijelaskan kemudian.

Orang Sakit yang Tidak Diharapkan Kesembuhannya

Ibnu ‘Abbas radiyallahu'anhum mengatakan, “…Tidak diberi keringanan dalam masalah ini (tidak puasa lalu membayar fidyah) kecuali yang tidak mampu berpuasa atau orang sakit yang tidak sembuh.” (HR. ath-Thabari dalam tafsirnya 2/138, an-Nasa’i, 1/318—319, dan al-Albani rahimahullah berkata sanadnya shahih)

Wanita Hamil dan Menyusui

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata tentang wanita yang menyusui, hukumnya adalah seperti wanita hamil dalam segala urusannya seperti dalam penjelasan yang telah lalu. (Syarhul ‘Umdah, 1/252)

Wanita hamil atau menyusui mendapat keringanan untuk tidak berpuasa, sebagaimana terdapat dalam riwayat Anas bin Malik Al-Ka’bi radiyallahu'anhu:

Datang kepada kami kuda Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam lalu aku dapati beliau sedang makan siang, lalu beliau mengatakan, “Mendekatlah kemudian makanlah!”

Saya katakan, “Sesungguhnya aku berpuasa.”

Beliau berkata lagi:

أُدْنُ أُحَدِّثُكَ عَنِ الصَّوْمِ –أَوْ الصِّيَامِ-، إِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْحَامِلِ وَالمُرْضِعِ شَطْرَ الصَّوْمِ

“Mendekatlah, aku beri tahu kamu tentang puasa, sesungguhnya Allah meletakkan dari seorang musafir setengah shalat serta meletakkan puasa dari wanita yang hamil dan menyusui….” (HR. Abu Dawud no. 2408. Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan hasan sahih dan diriwayatkan pula oleh at-Tirmidzi no. 715, an-Nasai no. 2273, serta Ibnu Majah no. 1667)

Apa yang mesti dilakukan oleh wanita yang meninggalkan puasa karena hamil atau menyusui?

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Di antara pendapat yang ada:

1. Tidak wajib mengqadha dan tidak membayar fidyah. Ini adalah pendapat Ibnu Hazm (al-Muhalla, 6/262). Secara ringkas, alasan beliau adalah tidak adanya dalil yang mewajibkan mengqadha atau membayar fidyah.

2. Wajib membayar fidyah dan qadha jika ia meninggalkan puasa karena khawatir terhadap anak atau janinnya, dan meng-qadha saja ketika khawatir atas dirinya sendiri.

Ini adalah pendapat al-Imam Ahmad yang masyhur (Fatawal Mar’ah, 1335). Alasan bagi yang mengkhawatirkan dirinya, karena ia serupa dengan orang yang sakit atau seperti orang yang khawatir akan mengalami sakit.

Adapun yang khawatir atas janinnya, ia juga wajib membayar fidyah sebab ia berbuka karena khawatir atas orang lain. Ini lebih berat dari yang berbuka karena khawatir atas dirinya sendiri. Maka diberatkan gantinya dengan diwajibkan juga membayar fidyah.

Alasan lainnya adalah hadits Anas bin Malik al-Ka’bi radiyallahu'anhu yang lalu dan tidak ada (keterangan dalam hadits itu) kecuali digugurkannya pelaksanaan puasa pada waktunya, bukan digugurkan qadhanya karena dalam hadits itu disebut musafir dan musafir diletakkan darinya pelaksanaan pada waktunya saja (bukan qadhanya). Juga karena dia berharap adanya kemampuan untuk mengqadha, maka hukumnya seperti orang yang sakit. (Syarhul Umdah, 1/249]

3. Kewajibannya hanya mengqadha. Ini adalah pendapat al-Auza’i , ats-Tsauri, al-Hasan, Abu Hanifah, dan lainnya (al-Muhalla, 6/263, Jami’ Ahkamin Nisa’, 2/395). Dalilnya adalah hadits Anas bin Malik radiyallahu'anhu juga.

4. Kewajiban mereka hanya membayar fidyah, tidak mengqadha. Ini adalah pendapat Abdullah Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas radiyallahu'anhum, Qatadah rahimahullah, dan yang lainnya.

Pendapat terakhir inilah yang saya cenderungi dengan beberapa alasan sebagai berikut:

1. Hadits Anas bin Malik al-Ka’bi radiyallahu'anhu

Telah dijelaskan di atas bahwa terdapat hadits dari Anas bin Malik al-Ka’bi bahwa Nabi Shallallahu'alaihiwasalam bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta'ala meletakkan puasa dari seorang musafir—dalam sebuah riwayat—dan dari wanita hamil dan menyusui. Sungguh Nabi Shallallahu'alaihiwasalam mengatakan keduanya atau salah satunya.”

Maksud dari meletakkan puasa dari wanita hamil atau menyusui di sini, adalah tidak diwajibkannya mengqadha, namun hanya wajib membayar fidyah. Dengan ini Ibnu ‘Abbas radiyallahu'anhu berfatwa sebagaimana akan dibahas kemudian.

Yang menunjukkan makna ini adalah bahwa Allah Ta'ala telah menerangkan makna meletakkan puasa dari seorang musafir dengan firman-Nya, “…maka barang siapa sakit atau safar maka hendaknya menggantinya dengan hari yang lain…”

Lalu Allah Ta'ala juga terangkan makna meletakkan puasa dari wanita hamil atau menyusui dengan firman-Nya “…maka bagi yang mampu dengan kepayahan hendaknya membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin…”

Ayat ini kemudian berlaku pada orang yang sudah tua yang tidak mampu. Dan wanita hamil atau menyusui digolongkan dengan mereka sehingga berkewajiban membayar fidyah saja sebagaimana kata Ibnu ‘Abbas radiyallahu'anhu kepada seorang budak wanita yang hamil atau menyusui:

“Engkau, kedudukanmu seperti yang tidak mampu. Kewajibanmu memberi makan satu orang miskin untuk setiap harinya dan tidak ada kewajiban qadha atasmu.” (HR. ath-Thabari dengan sanad yang dikatakan asy-Syaikh al-Albani shahih sesuai dengan syarat Muslim, al-Irwa’ [4/19]. Juga diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf [4/219 no. 7567] tapi tanpa kata-kata “tidak ada kewajiban qadha” dan Ibnu Hazm [al-Muhalla 6/263])

Juga Sa’id bin Jubair berkata bahwa Ibnu ‘Abbas radiyallahu'anhum mengatakan kepada budaknya yang hamil atau menyusui, “Engkau termasuk yang tidak mampu, kewajibanmu memberi makan bukan mengqadha.” (HR. ad-Daruquthni dalam Sunan-nya 2/206 no. 8 dan ia berkata sanadnya sahih)

2. Fatwa Ibnu ‘Umar radiyallahu'anhum

Terdapat beberapa fatwa Ibnu ‘Umar radiyallahu'anhum dalam masalah ini, di antaranya:

a. Beliau mengatakan, wanita hamil dan menyusui berbuka serta tidak meng-qadha. (HR. ad-Daruquthni 1/207 dan disahihkan olehnya)

b. Seorang wanita hamil bertanya kepada Ibnu ‘Umar radiyallahu'anhu dan dijawab, “Berbukalah dan berilah makan satu orang miskin sebagai ganti setiap harinya dan jangan kamu mengqadha.” (HR. ad-Daruquthni dalam Sunan-nya, 2/207, dan Ibnu Hazm dalam al-Muhalla, 6/263. asy-Syaikh al-Albani mengatakan sanadnya bagus, dalam Irwa’ul Ghalil 4/20)

c. Nafi’ bercerita bahwa anak wanita Ibnu ‘Umar adalah istri orang Quraisy dan dia hamil lalu ia haus di bulan Ramadhan. Maka beliau perintahkan untuk berbuka dan mengganti dari hari (yang ditinggalkan) dengan memberi makan seorang miskin. (HR. ad-Daruquthni dalam as-Sunan, 2/207 no.14. Asy-Syaikh al-Albani mengatakan sanadnya sahih, Irwa’ul Ghalil, 4/20)

d. Abdullah bin ‘Umar radiyallahu'anhum ditanya tentang wanita hamil jika khawatir pada anaknya, beliau menjawab, “Hendaknya berbuka dan memberi makan untuk setiap harinya satu orang miskin satu mud (sekitar 7,5 ons) dari gandum.” (HR. asy-Syafi’i, al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra [4/230] dari Malik dan Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf [4/218 no. 7561] dan Ayyub, keduanya dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar radiyallahu'anhu). Dalam lafadz Ayyub, “Jika khawatir atas dirinya.” (Shifat Shaum an-Nabi, hlm. 84)

3. Fatwa Ibnu ‘Abbas radiyallahu'anhu

Didapati beberapa fatwa dari beliau, juga penjelasan ayat yang menunjukkan dengan jelas bahwa beliau berpendapat hanya membayar fidyah dan tidak qadha. Di antaranya:

a. Ibnu ‘Abbas radiyallahu'anhu melihat budak wanitanya hamil atau menyusui maka beliau mengatakan, “Kamu termasuk dari orang yang tidak mampu melakukan puasa, wajib atas kamu jaza’ (memberi makan), dan tidak ada qadha atas dirimu.” (HR. ad-Daruquthni dengan sanad yang disahihkannya [1/207], Shifat Shaum an-Nabi hlm. 85)

b. Diriwayatkan Ikrimah rahimahullah dari ‘Abdullah Ibnu ‘Abbas radiyallahu'anhum bahwa beliau berkata, “Telah ditetapkan bagi wanita hamil dan yang menyusui, yakni firman-Nya, “Dan atas orang-orang yang mampu dengan payah.” (HR. Abu Dawud disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abu Dawud, no. 2317)

c. Beliau juga mengatakan, “Pada firman Allah Ta'ala tersebut ada rukhshah (keringanan) bagi orang yang sudah tua (kakek dan nenek) walaupun keduanya mampu untuk berpuasa. Keduanya diberi keringanan untuk berbuka jika mau dan memberi makan seorang miskin sebagai gantinya.

Lalu (hukum) itu dihapus dengan firman Allah Ta'ala (yang artinya), “Maka barang siapa di antara kalian menyaksikan bulan, hendaknya ia berpuasa.” Rukhshah itu tetap bagi kakek dan nenek yang tidak mampu berpuasa, juga bagi wanita hamil dan menyusui. Jika keduanya khawatir, maka berbuka dan memberi makan satu orang miskin sebagai ganti tiap harinya.” (HR. Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya 2/135, Ibnul Jarud, no. 381, dan al-Baihaqi, 4/230. Sanadnya disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil, 4/18)

d. Beliau juga berkata, “Jika wanita hamil khawatir atas dirinya dan wanita yang menyusui khawatir atas anaknya di bulan Ramadhan, maka keduanya (wanita hamil dan wanita menyusui) berbuka serta memberikan makan untuk setiap harinya satu orang miskin dan tidak mengqadha.” (asy-Syaikh al-Albani mengatakan riwayat ath-Thabari dalam tafsirnya, sanadnya sahih sesuai syarat Muslim, ibid:19)

Riwayat-riwayat Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radiyallahu'anhum kaitannya dengan hal ini, bisa dilihat secara rinci beserta penjelasan dan takhrijnya dalam Irwa’ul Ghalil (4/17—25) pada takhrij hadits no. 912.

Dari nukilan di atas, baik dari penjelasan dan fatwa Ibnu ‘Abbas maupun Ibnu ‘Umar radiyallahu'anhum, tampak jelas bahwa wanita yang hamil atau menyusui menurut beliau berdua tidak wajib mengqadha.

Yang wajib adalah membayar fidyah, sama saja baik khawatir atas dirinya, janin, maupun anaknya. Hal ini sebagaimana tersebut dalam riwayat-riwayat di atas yang sebagian hanya menyebut kekhawatiran atas dirinya, sebagian menyebut khawatir atas anaknya, sebagiannya lagi sekadar menyebut jika khawatir, bahkan sebagiannya tidak menyebutkan kekhawatiran sama sekali.

Pada semua keadaan itu mereka menghukumi dengan hukum yang sama tanpa ada perincian apa pun. Jika hukum mereka berbeda pada keadaan-keadaan itu tentu akan mereka jelaskan, terlebih ketika berfatwa. Sementara kita tahu bahwa mengakhirkan keterangan di saat dibutuhkan itu tidak boleh.

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Telah tetap wajibnya fidyah dari tiga sahabat dan tidak diketahui ada yang menyelisihi mereka, dan mereka khilaf dalam masalah mengqadhanya.” (Syarhul ‘Umdah,1/249)

Adapun pendapat yang mengatakan jika khawatir atas anaknya maka tidak ada fidyah atas dirinya, maka itu menyelisihi perkataan al-Imam Ahmad rahimahullah dan ucapan-ucapan salaf. (Syarhul Umdah,1/253)

Ibnu Qudamah rahimahullah juga berkata bahwa tidak ada yang menyelisihi Ibnu ‘Abbas radiyallahu'anhum dalam hal ini dari kalangan sahabat. (al-Mughni, 3/21)

Tafsir Ibnu ‘Abbas dihukumi marfu’ (sampai kepada Nabi Shallallahu'alaihiwasalam) karena tafsir itu berkaitan dengan asbabun nuzul. (Shifat Shaum an-Nabi, hlm. 84)

Jika pendapat itu seperti yang dikatakan Ibnu Qudamah dan Ibnu Taimiyah bahwa tidak ada yang menyelisihi fatwa Ibnu ‘Abbas atau Ibnu ‘Umar radiyallahu'anhum, maka mestinya kita mengutamakan pendapat mereka berdua dari pendapat yang lain. Pendapat itu juga merupakan pendapat Sa’id bin Jubair, al-Qasim bin Muhammad, dan Qatadah. (al-Mushannaf, 4/216—218)

Perkataan sahabat memiliki nilai tinggi dalam menentukan hukum. Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun ucapan para sahabat jika menyebar dan tidak ada pengingkaran di zaman mereka, itu merupakan hujjah menurut mayoritas ulama.

Jika mereka berselisih, maka apa yang mereka perselisihkan itu dikembalikan kepada Allah Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu'alaihiwasalam. Ucapan sebagian mereka bukanlah merupakan hujjah jika sahabat yang lain menyelisihinya. Ini kesepakatan ulama.

Lalu jika sebagian mereka berpendapat dengan sebuah pendapat kemudian sebagian yang lain tidak menyelisihinya namun pendapat itu tidak tersebar, maka ini juga dipertentangkan. Sedangkan jumhur (kebanyakan) ulama berhujjah dengannya.” (Majmu’ Fatawa, 20/14)

Demikian pula fatwa para sahabat, Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa fatwa sahabat tidak keluar dari enam keadaan. Jika ada pada salah satu dari lima keadaan pertama maka itu hujjah yang wajib diikuti. Jika ada pada keadaan yang keenam maka bukan hujjah, yaitu jika sahabat tersebut memahami sesuatu yang tidak diinginkan oleh Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam (salah paham). Tentu lima kemungkinan yang pertama lebih banyak dari kemungkinan yang satu. (Lihat I’lamul Muwaqqi’in 4/148, Faqih wal Mutafaqqih, 1/174 dari buku Ma’alim fi Ushul Fiqh hlm. 226—227)

Permasalahan

Bila ada seorang wanita hamil di bulan Ramadhan dan ia meninggalkan puasa karena kehamilannya itu. Kemudian ia melahirkan di bulan itu juga, sehingga ia tentu meninggalkan puasa karena nifasnya. Apakah ia wajib mengqadha karena ia meninggalkan puasa karena nifas itu? Kalau dia menganggap dirinya sebagai orang yang menyusui apakah tidak wajib mengqadha?

Masalah ini telah dijawab oleh asy-Syaikh al-Albani, ia berkata, “Jika bertepatan ketika ia nifas dan juga menyusui, maka jawabnya: ia seperti keadaannya semula yaitu ketika hamil, tidak ada qadha atasnya. Yang wajib atasnya adalah fidyah.” (Majalah al-Ashalah edisi 15—16 hlm. 120)

dikutip dari "Orang-orang Yang Tidak Wajib Berpuasa"
ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc
AsySyariah.com

Sholat Dhuha

15.44 Add Comment
image by al-uyeah.blogspot.com
Para pembaca rahimakumullah, Ketahuilah bahwasanya Shalat Dhuha memiliki kedudukan yang tinggi di dalam Islam. Shalat Dhuha termasuk dari sekian ibadah yang diwasiatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam agar tidak ditinggalkan. Abu Hurairah radiyallahu'anhu berkata,

“Kekasihku Rasulullah telah memberiku wasiat dengan tiga perkara: berpuasa tiga hari pada setiap bulan, shalat dua raka’at Dhuha, dan melaksanakan shalat witir sebelum tidur.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Abu Darda’ radiyallahu'anhu juga berkata, “Kekasihku Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah memberiku wasiat dengan tiga perkara yang aku tidak akan pernah meninggalkannya selama aku hidup, yaitu puasa tiga hari di setiap bulan, shalat Dhuha, dan melaksanakan shalat witir sebelum tidur.” (HR. Muslim no.722)

Waktunya

Adapun waktunya adalah sebagaimana yang diterangkan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, “Dan waktunya sejak berlalunya waktu larangan hingga mendekati zawal (tergelincirnya matahari ke arah barat).” (Lihat Kitab Adabul Masyi ila Ash-Sholah)

Waktu larangan yang dimaksud ialah sejak terbitnya matahari hingga meninggi sekitar satu tombak (kurang lebih 15 menit setelah terbit, penjelasan Ibnu Utsaimin).

Sebagian ulama’ berpendapat bahwa melakukan shalat dhuha ketika matahari telah terik lebih utama. Mereka berdalil dengan hadits Zaid bin Arqam Radhiallahu ‘anhu,

 “Shalatnya orang-orang yang kembali (awwabin) ialah jika telah terik matahari.” (HR. Muslim no. 748)

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz Rahimahullah berkata, “dan (waktunya) yang afdhal adalah apabila waktu dhuha telah panas.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baaz 30/56)

Dan berkata Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah, “… dikarenakan shalat dhuha dimulai sejak naiknya matahari sekira satu tombak hingga mendekati waktu zawal (zhuhur), dan (melaksanakan) shalat dhuha di akhir waktu lebih afdhal daripada di awal waktu.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin 14/305)

Jumlah Raka'atnya

Dari wasiat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kepada Abu Hurairah dan Abu Darda’ di atas dapat kita pahami bahwasanya minimal bilangan raka’at shalat dhuha adalah dua raka’at. Sedangkan jumlah terbanyak yang pernah dicontohkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah delapan raka’at. Diriwayatkan dari Ummu Hani’ Radhiallahu ‘anha

إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ بَيْتَهَا يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ، فَاغْتَسَلَ وَصَلَّى ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ، فَلَمْ أَرَ صَلاَةً قَطُّ أَخَفَّ مِنْهَا، غَيْرَ أَنَّهُ يُتِمُّ الرُّكُوعَ وَالسُّجُودَ

“Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam masuk ke rumahnya pada waktu Fathu Makkah, maka beliau mandi dan melakukan shalat sebanyak delapan raka’at. Aku tidak pernah melihat shalat yang lebih ringkas darinya, hanya saja beliau tetap menyempurnakan ruku’ dan sujudnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1176)

Dalam Shahih Muslim dari Aisyah Radhiallahu ‘anha ia berkata, “Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melakukan shalat dhuha sebanyak empat raka’at dan menambah sekehendak beliau” (Shahih Muslim no.1175)

Dari hadits Aisyah ini sebagian ulama’ berpendapat bolehnya melaksanakan shalat Dhuha lebih dari delapan raka’at. Asy-Syaikh Ibnu Baaz berkata, “Jumlah paling sedikitnya adalah dua raka’at. Apabila engkau selalu melakukan dua raka’at maka engkau telah menunaikan dhuha. Apabila engkau shalat empat atau enam atau delapan atau lebih banyak lagi maka tidak mengapa, disesuaikan yang mudah. Tidak ada padanya batasan tertentu. Tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam shalat dua raka’at, shalat empat raka’at. Dan pada waktu Fathu Makkah beliau shalat delapan raka’at. Maka perkaranya dalam permasalahan ini luas.”

Beliau juga berkata, “Barangsiapa shalat delapan raka’at, sepuluh, dua belas, atau lebih banyak dari itu atau lebih sedikit maka tidak mengapa.” (http://www.ibn-baz.org/mat/1086)

Tetapi yang afdhal adalah tidak lebih dari delapan raka’at, karena jumlah ini yang secara tegas pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Di dalam fatwanya, Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhutsi wal Ifta (6/145) menyatakan, “Shalat dhuha adalah sunnah, bilangan sedikitnya adalah dua raka’at dan tidak ada batasan untuk jumlah banyaknya. Yang afdhal untuk tidak melebihi delapan raka’at. Melakukan salam pada tiap dua raka’at, dan tidak sepantasnya digabung dalam satu salam, (hal ini) berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “(pelaksanaan) shalat malam dan (shalat) siang adalah dua dua.” (Fatwa ini dikeluarkan dengan diketuai oleh Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz dan beranggotakan Asy-Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh, Shalih Al-Fauzan, dan Bakr Abu Zaid)

Tata Cara Pelaksanaannya

Apabila shalat dhuha lebih dari dua raka’at maka cara pelaksanaanya adalah dengan cara salam pada setiap dua raka’at. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,

“(pelaksanaan) Shalat malam dan (shalat) siang adalah dua raka’at dua raka’at.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)

Di dalam fatwa yang dikeluarkan Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wal Ifta (6/145) yang diketuai oleh Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz menyebutkan bahswasanya tidak sepantasnya melakukan shalat dhuha lebih dari dua raka’at dengan satu salam. Hanya saja sebagian ulama seperti Al-Imam An-Nawawi membolehkannya, beliau berkata, “Hadits ini dimaknakan untuk menjelaskan (tatacaranya) yang afdhal, yaitu melakukan salam pada setiap dua raka’at. Baik shalat nafilah malam hari atau siang hari. Disukai untuk melakukan salam setiap dua raka’at. Seandainya menggabung semua raka’at dalam satu salam atau shalat sunnah satu raka’at maka diperbolehkan menurut madzhab kami.” (Al-MinhajSyarah Shahih Muslim )

Dari penjelasan Al-Imam An-Nawawi di atas dapat kita simpulkan bahwa pelaksanaannya yang afdhal adalah berhenti pada setiap dua raka’at dan tidak mengapa untuk diselesaikan semuanya dalam satu salam.

Melakukannya Terus Menerus

Dalam permasalahan ini terjadi silang pendapat di antara ulama’. Sebagian mereka berpendapat bahwasanya shalat dhuha tidak dilakukan terus menerus setiap hari. Shalat dhuha hanya dilakukan ketika baru tiba dari safar. Mereka berdalil dengan hadits ‘Aisyah Radhiallau ‘anha, ketika beliau ditanya oleh Abdullah bin Syaqiq rahimahullah, “Apakah dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melakukan shalat dhuha?” Aisyah menjawab, “Tidak, kecuali jika baru datang dari safar.” (HR. Muslim) sisi pendalilannya adalah, seandainya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melakukannya secara rutin tentu akan diketahui oleh Aisyah Radhiallahu ‘anha.

Akan tetapi berdalil dengan hadits ini tidaklah tepat ditinjau dari dua sisi:

Pertama: Aisyah menafikan hal tersebut berdasarkan ilmu yang beliau ketahui. Sementara dalam beberapa riwayat terdapat penetapan bahwasanya shalat dhuha disunnahkan untuk dilakukan setiap hari dan tidak hanya berlaku bagi musafir yang baru tiba dari bepergian saja. Di antara riwayat tersebut adalah wasiat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kepada Abu Hurairah dan Abu Darda di awal pembahasan. Di dalam kaedah ushul disebutkan bahwasanya riwayat yang menetapkan lebih didahulukan daripada riwayat yang meniadakan, karena riwayat yang menetapkan mengandung tambahan faedah yang tidak terdapat pada riwayat yang meniadakan.

Kedua: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak setiap saat bersama Aisyah Radhiallahu ‘anha. Di dalam kesempatan beliau bersama Aisyah dan dalam kesempatan lain beliau tidak bersamanya. Beliau terkadang menjadi musafir dan terkadang tidak menjadi musafir. Dalam keadaan tidak safar beliau terkadang duduk di masjid dan tempat lainnya. Beliau juga memiliki sembilan orang isteri yang semuanya mendapat giliran hari yang sama rata. Ini menunjukkan bahwa kebersamaan beliau bersama Aisyah pada waktu dhuha tidak setiap hari dan tidak setiap kesempatan. Bisa jadi beliau shalat dhuha di rumah isteri-isterinya yang lain, atau ketika di masjid, di rumah shahabatnya, ketika safar, atau di tempat-tempat lainnya yang tidak dilihat oleh Aisyah Radhiallahu ‘anha. (Lihat Al-Hawi lil Fatawi Li As-Suyuthi 1/45)

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya, “Apa pendapat yang shahih dan rojih tentang shalat dhuha. Apakah boleh dilakukan setiap hari, selang-selang hari, atau bagaimana?” beliau menjawab, “(Pendapat) yang rojih tentangnya dan yang sunnah adalah (dikerjakan) setiap hari. Shalat dhuha (dilakukan) setiap hari. Telah diriwayatkan di dalam Ash-Shahihain dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bahwasanya beliau memberikan wasiat kepada Abu Hurairah dengan tiga perkara, “Shalat dhuha, shalat witir sebelum tidur, dan berpuasa tiga hari pada setiap bulan.” Dan diriwayatkan di dalam Shahih Muslim juga bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mewasiatkan Abu Darda, “Agar (mengerjakan) shalat dhuha setiap hari, shalat witir sebelum tidur, dan berpuasa tiga hari pada setiap bulan.” Dan diriwayatkan juga di dalam Ash-Shahih bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata kepada Abu Dzar ketika menyebutkan persendian tulang dapat melakukan sedekah, beliau berkata, “Setiap tasbih adalah sedekah, tahmid adalah sedekah, tahlil adalah sedekah, dan takbir adalah sedekah,” – sampai akhir hadits beliau bersabda, “dan tercukupi dari itu semua dengan dua raka’at yang engkau kerjakan ketika dhuha.” (Majmu Fatawa Ibnu Baaz 30/60)

Keutamaan Shalat Dhuha Dibarengi Shalat Subuh

Seseorang yang melakukan shalat shubuh berjama’ah kemudian duduk berdzikir hingga matahari terbit dan diakhiri dengan shalat dhuha dua raka’at, maka ia akan memperoleh keutamaan pahala haji dan umrah secara sempurna. Hal ini dijelaskan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,

“Barangsiapa melaksanakan shalat shubuh berjama’ah kemudian ia duduk berdzikir kepada Allah Ta’ala hingga terbitnya matahari, kemudian ia shalat dua raka’at, maka baginya seperti pahala haji dan umrah sempurna sempurna sempurna.” (HR. At-Tirmidzi)

Shalat Dhuha Berjama'ah

Permasalahannya adalah kembali kepada hukum shalat sunnah secara berjama’ah. Al-Imam Ibnu Qudamah Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Bolehnya shalat sunnah secara berjama’ah dan sendirian. Dikarenakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah melakukan kedua-duanya, hanya saja yang sering beliau lakukan adalah shalat sendirian (tidak berjama’ah,pen). Beliau pernah shalat sekali dengan Hudzaifah, sekali dengan Ibnu ‘Abbas, dengan Anas dan ibunya dan seorang anak yatim sekali. Beliau juga pernah mengimami shahabatnya di rumah ‘Itban sekali, dan mengimami mereka tiga malam pada bulan ramadhan. Dan kami akan menyebutkan lebih banyak lagi riwayat-riwayat pada tempatnya insya Allah Ta’ala. Semuanya adalah riwayat yang shahih dan baik.” (Al-Mughni 1/442)

Namun, perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam di dalam beberapa riwayat di atas hanya menunjukkan bolehnya melakukan shalat sunnah secara berjama’ah, tidak sampai kepada sunnah. Diingatkan oleh para ulama’ agar melakukannya dengan berjama’ah tidak dijadikan kebiasaan, karena hal itu menyelisi sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Berkata Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, “dan hasilnya, bahwasanya tidak mengapa melakukan sebagian shalat sunnah secara berjama’ah, tetapi jangan menjadikannya sebagai kebiasaan terus menerus, setiap kali mereka shalat sunnah mereka melakukkanya berjama’ah, karena ini tidak disyari’atkan.”(Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin 14/334)

Wallahu a'lam…

"Sudahkah Hari Ini Anda Shalat Dhuha?"
Abu Rufaidah Abdurrahman Almaidany
warisansalaf.com

Sahur, Meskipun Seteguk Air

15.44 Add Comment
Sahur, Meskipun Hanya Minum Seteguk Air | al-uyeah.blogspot.com
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radiyallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Makan sahur adalah barakah. Maka janganlah kalian meninggalkannya meskipun salah satu di antara kalian hanya minum seteguk air. Sesungguhnya Allah ta’ala dan para malaikat-Nya bershalawat atas orang-orang yang sahur.” (HR. Ahmad, hadits hasan, lihat Shahihul Jami’ish Shaghir, 1/686 no. 3683)

Yuk Kita Sahur

15.44 Add Comment
image by al-uyeah.blogspot.com
Dari Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sahurlah kalian, karena sesungguhnya dalam sahur terdapat barakah.” (Muttafaqun ‘alaih)

Keutamaan Sahur

15.44 Add Comment
image by al-uyeah.blogspot.com
Para pembaca hafizhakumullahu wa yarhamukum (semoga Allah ta’ala senantiasa menjaga dan merahmati anda semua). Ketahuilah, banyak pribadi muslim yang menyatakan: “Saya cinta kepada Allah ta’ala.” Dan mereka pun ingin mendapatkan kecintaan Allah ta’ala. Peryataan tersebut sangat mudah untuk diucapkan, akan tetapi dalam pengamalannya tentu saja memerlukan pengorbanan yang besar.

Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Katakanlah (wahai Muhammd): ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ayat yang mulia ini adalah hakim (yang mengadili) bagi setiap orang yang mengaku cinta pada Allah ta’ala namun dia tidak berada di jalan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Maka dia adalah orang yang berdusta dalam pengakuannya hingga dia mengikuti ajaran Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/467)

Oleh karena itu, ketika kita mengeluarkan pernyataan tersebut sementara kita jauh dari ajaran Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maka kita termasuk orang yang berdusta atas pernyataan kita. Al-Hasan Al-Bashri dan ulama salaf lainnya rahimahumullah berkata: “Sekelompok kaum telah menyangka bahwasanya mereka mencintai Allah Ta'ala maka Allah ta’ala menguji mereka dengan ayat ini (yang tersebut di atas).” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/467)

Maka dari sinilah hendaknya kita melihat kembali kepada apa yang telah kita lakukan! Apakah kita telah mengikuti Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wasallam dengan sebenar-benarnya ataukah belum?

Kaitannya dengan pengamalan ayat di atas, kami paparkan ke hadapan anda suatu risalah ringkas tentang sahur dan ifthar (buka puasa) serta sunnah-sunnahnya, sehingga dalam sahur dan ifthar kita benar-benar sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wasallam.

Makna Sahur

Dalam bahasa Arab, as-sahur dengan mem-fathah huruf sin adalah benda makanan dan minuman untuk sahur.

Adapun as-suhur dengan men-dhommah huruf sin adalah mashdar yakni perbuatan makan sahur itu sendiri. (An-Nihayah, 2/347)

Hukum Sahur

Hukum makan sahur adalah sunnah, berdasarkan hadits dari Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Sahurlah kalian, karena sesungguhnya dalam sahur terdapat barakah.” (Muttafaqun ‘alaih)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Para ulama telah bersepakat tentang sunnahnya makan sahur dan bukan suatu kewajiban.” (Syarh Shahih Muslim, 7/207)

Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu alaihi wasallam mendorong kita untuk tidak meninggalkan makan sahur meskipun hanya dengan seteguk air. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Abu Sa’id Al-Khudri radiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Makan sahur adalah barakah maka janganlah kalian meninggalkannya meskipun salah seorang di antara kalian hanya minum seteguk air.” (HR. Ahmad, hadits hasan, lihat Shahihul Jami’ish Shaghir, 1/686 no. 3683)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Sahur dapat diperoleh seseorang yang makan dan minum meskipun hanya sedikit.” (Fathul Bari, 4/166)

Keutamaan Sahur

Adapun mengenai keutamaan sahur, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menjelaskannya dalam beberapa hadits di bawah ini:

1. Dalam sahur terdapat barakah
Dari Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sahurlah kalian, karena sesungguhnya dalam sahur terdapat barakah.” (Muttafaqun ‘alaih)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam kitabnya (Fathul Bari, 4/166): “Dan yang utama (dari tafsiran “barakah” yang terdapat dalam hadits) sesungguhnya barakah dalam sahur dapat diperoleh dari beberapa segi, yaitu:
a. Mengikuti Sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam.
b. Menyelisihi ahli kitab.
c. Menambah kemampuan untuk beribadah.
d. Menambah semangat.
e. Mencegah akhlak yang buruk yang timbul karena pengaruh lapar.
f. Mendorong bersedekah terhadap orang yang meminta pada waktu sahur atau berkumpul bersamanya untuk makan sahur.
g. Merupakan sebab untuk berdzikir dan berdoa pada waktu mustajab.
h. Menjumpai niat puasa bagi orang yang lupa niat puasa sebelum tidur.


2. Pujian Allah Ta’ala dan doa para malaikat terhadap orang-orang yang sahur
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radiyallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Makan sahur adalah barakah. Maka janganlah kalian meninggalkannya meskipun salah satu di antara kalian hanya minum seteguk air. Sesungguhnya Allah ta’ala dan para malaikat-Nya bershalawat atas orang-orang yang sahur.” (HR. Ahmad, hadits hasan, lihat Shahihul Jami’ish Shaghir, 1/686 no. 3683)


3. Menyelisihi puasa ahli kitab
Dari ‘Amr bin Al-‘Ash radiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Yang membedakan antara puasa kami (orang-orang muslim) dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur.” (HR. Al-Imam Muslim dan lainnya)
Al-Imam Sarafuddin Ath-Thiibi rahimahullah berkata: “Sahur adalah pembeda antara puasa kita dengan puasa Ahli Kitab, karena Allah ta’ala telah membolehkan kita sesuatu yang Allah Ta’ala haramkan bagi mereka, dan penyelisihan kita terhadap ahli kitab dalam masalah ini merupakan nikmat (dari Allah Ta’ala) yang harus disyukuri.” (Syarhuth-Thiibi, 5/1584)
    Waktu Sahur
    Waktu yang utama untuk makan sahur adalah dengan mengakhirkan waktunya hingga mendekati terbit fajar. Dan mengakhirkan waktu sahur ini merupakan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagaimana hadits yang diriwayatkan Anas bin Malik dari Zaid bin Tsabit radiyallahu ‘anhu, beliau bekata:

    Kami makan sahur bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kemudian (setelah makan sahur) kami berdiri untuk melaksanakan shalat. Aku (Anas bin Malik) berkata: ‘Berapa perkiraan waktu antara keduanya (antara makan sahur dengan shalat fajar)?’ Zaid bin Tsabit radiyallahu ‘anhu berkata: ‘50 ayat’.” (Muttafaqun ‘alaih)

    Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah mengatakan dalam Shahih Al-Bukhari:

    Bab perkiraan berapa lama waktu antara sahur dengan shalat fajar”. Maksudnya (jarak waktu) antara selesainya sahur dengan permulaan shalat Fajar. (Fathul Bari, 4/164)

    Dan hal ini sebagaimana telah diterangkan oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah dalam Shahih Al-Bukhari pada kitab Tahajjud, dari Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu, beliau ditanya:

    Berapakah jarak waktu antara selesainya Nabi shallallahu alaihi wasallam dan Zaid bin Tsabit radiyallahu ‘anhu makan sahur dengan permulaan mengerjakan shalat (subuh)? Beliau menjawab: ‘Seperti waktu yang dibutuhkan seseorang membaca 50 ayat (dari Al Qur`an)’.”

    Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari (4/164) menyebutkan: “(Bacaan tersebut) bacaan yang sedang-sedang saja (ayat-ayat yang dibaca), tidak terlalu panjang dan tidak pula terlalu pendek, dan (membacanya) tidak cepat dan tidak pula lambat”.

    Bila kita sebutkan dengan catatan waktu maka kira-kira jarak antara keduanya 10-15 menit. Wallahu a’lam.

    Tamr (Kurma) Sebaik-baik Makanan Untuk Sahur
    Terkadang di antara hidangan makan sahur kita terdapat beberapa jenis makanan dengan beragam rasanya, sehingga kita dapat memilih makanan yang baik dan disukai. Akan tetapi tahukah anda jenis makanan apa yang paling baik untuk sahur? Ketahuilah! Sebaik-baik makanan untuk sahur adalah tamr (kurma), dan sahur dengan tamr merupakan Sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda:

    Sebaik-baik makanan sahur seorang mukmin adalah tamr (kurma).” (HR. Abu Dawud, Ibnu Hibban dan Al-Baihaqi, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Ash-Shahihah no. 562 dan Shahihul Jami’ish Shaghir, 2/1146 no. 6772)

    "Sahur dan Berbuka"
    sumber : salafy.or.id

    Memberi Makan Orang Berpuasa

    15.38 Add Comment
    image by  al-uyeah.blogspot.com
    Keutamaan memberi makanan berbuka. Suatu kenikmatan yang sangat besar apabila dengan rezeki yang telah Allah Ta'ala karuniakan, kita dapat menyisihkan sebagiannya untuk memberi makanan berbuka kepada orang-orang yang berpuasa karena pahalanya yang sangat besar. Nabi Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

    مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

    “Barang siapa memberi makanan berbuka seorang yang puasa maka baginya (orang yang memberi buka) semisal pahala (orang yang puasa) tanpa mengurangi sedikit pun pahala orang yang puasa.” (HR. at-Tirmidzi dan lainnya, dari Zaid bin Khalid radiyallahu'anhu)

    Al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata, “Hadits ini hasan sahih.” (al-Jami’ush Sahih, 3/171 no. 807. Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah mensahihkan hadits ini, lihat Shahihul Jami’ish Shaghir, 2/1095 no. 6414)

    Setelah memandang begitu besarnya pahala yang akan didapatkan oleh orang-orang yang memberi makanan berbuka bagi orang yang berpuasa, selayaknyalah bagi kita untuk berlomba-lomba dalam meraih keutamaan yang sangat besar ini dengan menyisihkan rezeki yang Allah Ta'ala karuniakan kepada kita untuk memberi makanan berbuka orang yang berpuasa.

    Sekalipun kita hanya mampu memberikan kepada satu atau dua orang saja. Atau mungkin kita hanya mampu memberi satu biji kurma atau sekadar air minum. Janganlah kesempatan yang baik ini kita sia-siakan!

    Doa Orang yang Diundang Makan/Minum untuk Orang yang Mengundang

    Ketika kita diundang untuk makan/minum, disunnahkan bagi yang diundang untuk mendoakannya ketika telah selesai makan/minum dengan doa yang telah dicontohkan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam:

    أَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُونَ وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ الْأَبْرَارُ وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ الْمَلَائِكَةُ

    Semoga orang-orang yang puasa berbuka di sisi kalian dan orang-orang yang saleh lagi bertakwa makan makanan kalian serta para malaikat mendoakan kalian.” (Sahih, HR. Abu Dawud, lihat Shahih Sunan Abi Dawud, 2/459 no. 3854 dan Shahihul Jami’ish Shaghir, 1/253 no. 1137)

    Juga perlu diingat bahwa dalam makan baik sahur atau berbuka, kita dilarang berlebih-lebihan. Allah Ta'ala berfirman:

    “Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (al-An’am: 141)

    Demikian yang dapat kami aturkan ke hadapan anda mengenai hal-hal yang berkaitan dengan sahur dan ifthar berikut sunnah-sunnahnya.
    Wallahu a’lam.

    dikutip dari "Sahur dan Berbuka"
    ditulis oleh: Al-Ustadz Hariyadi, Lc.
    AsySyariah.com

    Hukuman Yang Mendidik

    20.30 Add Comment
    Hukuman Yang Mendidik | al-uyeah.blogspot.com
    Acapkali seorang pendidik -baik orang tua maupun guru- harus menghadapi anak didiknya dengan menjatuhkan hukuman. Tentu saja disertai harapan, tindakannya ini bisa menghentikan kesalahan sang anak. Alangkah baiknya bila setiap pendidik memerhatikan metode pengajaran yang telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sekarang, kembali kita telaah nasihat asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullah.

    Ada bentuk-bentuk hukuman yang mendidik, yang bisa diharapkan keberhasilannya. Seyogianya setiap pendidik menerapkan hukuman seperti ini terhadap anak yang kurang beradab dalam mengikuti pelajaran atau memandang remeh gurunya. Ini merupakan metode pendidikan yang aman dari dampak negatif dan bisa diharap keberhasilannya—dengan kehendak Allah ‘azza wa jalla tentunya.

    Nasihat dan Arahan

    Ini adalah metode yang amat mendasar dalam pendidikan dan pengajaran. Kalaupun tanpa disertai metode lain, metode ini pun sudah cukup. Metode inilah yang diterapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap anak-anak dan orang dewasa.

    Nasihat kepada anak-anak

    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihatseorang anak yang tangannya berkeliling mengambil makanan. Beliau pun mengajarinya cara makan yang benar,

    “Nak, ucapkanlah bismillah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang dekat denganmu.” (Muttafaqun ‘Alaih)

    Jangan ada seorang pun yang menyatakan bahwa metode seperti ini hanya sedikit memberikan pengaruh terhadap anak-anak. Saya sendiri (asy-Syaikh bin Jamil Zainu –pen.) pernah mengalaminya berkali-kali. Ternyata metode seperti ini memberikan pengaruh yang paling baik.

    Pernah ada seorang anak yang mencela agama temannya. Saya pun mendekatinya dan bertanya kepadanya, “Siapa namamu, nak? Kelas berapa dan dari sekolah mana?”

    Setelah dia menjawab, saya pun bertanya, “Siapa yang menciptakanmu?”

    “Allah,” jawabnya.

    “Siapa yang memberimu pendengaran dan penglihatan? Siapa pula yang memberimu makanan berbagai buah-buahan dan sayur-sayuran?” tanya saya lagi.

    “Allah,” jawabnya.

    Saya tanya lagi, “Lalu apa kewajibanmu terhadap yang memberimu semua nikmat ini tadi?”

    “Bersyukur kepada-Nya,” jawab anak itu lagi.

    “Apa yang tadi baru saja kaukatakan kepada temanmu?” tanya saya.

    Dia pun merasa malu. “Tadi temanku itu yang nakal kepadaku!”

    Saya jelaskan kepadanya, “Memang, sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla tidak akan menerima perbuatan zalim, bahkan melarangnya. Allah ‘azza wa jalla berfirman,

    ‘… dan janganlah kalian berbuat melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat melampaui batas.’ (al-Baqarah: 190).”

    “Tetapi, sebenarnya siapa yang membisiki temanmu itu hingga memukulmu?”

    Dia menjawab, “Setan.”

    “Kalau begitu, seharusnya kau mencela setannya!” kata saya.

    Dia pun mengatakan kepada temannya, “Semoga setanmu itu dilaknat!”

    Kemudian saya menasihatinya, “Sekarang kau harus bertobat kepada Allah dan memohon ampun pada-Nya, karena mencela agama itu perbuatan kufur.”

    Dia segera mengatakan, “Saya memohon ampun kepada Allah Yang Mahaagung, dan aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang layak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah!”

    Saya pun mengucapkan terima kasih kepadanya dan memintanya tidak mengulangi perbuatannya itu serta menasihati teman-temannya apabila ada di antara mereka yang mencela agama.

    Suatu kali, saya sedang berjalan bersama seorang guru. Tiba-tiba kami melihat seorang anak kecil buang air kecil di tengah jalan. Guru itu pun berteriak, “Celaka kamu! Celaka kamu! Jangan kaulakukan!”

    Anak kecil itu ketakutan. Dia segera memutus kencingnya dan lari.

    Melihat itu, kukatakan kepada guru tadi, “Engkau telah menyia-nyiakan kesempatan kita untuk memberikan nasihat kepada anak itu.”

    “Apa boleh kubiarkan anak itu kencing di tengah jalan di depan orang banyak?” katanya.

    “Apakah engkau mau melakukan sesuatu yang tidak seperti apa yang kaulakukan tadi?” kata saya, “Biarkan anak itu sampai selesai buang air, lalu panggil dia kemari. Aku akan memperkenalkan diri, lalu akan kukatakan padanya, ‘Nak, jalanan ini tempat orang lalu lalang. Jadi, tidak boleh buang air kecil di sini. Di dekat sini ada tempat buang air. Jangan pernah kau ulangi lagi perbuatan seperti ini, supaya kau jadi anak yang baik. Semoga engkau mendapatkan petunjuk dan taufik’.”

    Mendengar penjelasan itu, guru tadi menyatakan, “Ini metode yang bijaksana dan amat berfaedah.”

    Kujelaskan padanya, “Ini metode pendidik seluruh manusia, Muhammad bin Abdillah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Lalu saya sebutkan kepadanya kisah seorang Arab gunung yang amat masyhur itu.

    Nasihat kepada yang telah baligh

    Contoh nasihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang teramat besar pengaruhnya bagi orang yang menerimanya adalah kisah A’rabi (Arab gunung) yang diceritakan oleh Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu. Suatu ketika, kami berada di masjid bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tiba-tiba datang seorang A’rabi, lalu buang air kecil sambil berdiri di masjid. Para sahabat pun berteriak menegur, “Jangan! Jangan!”

    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan kalian putuskan dia! Biarkan dia!”

    Para sahabat membiarkan orang itu hingga selesai buang air kecil. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil A’rabi itu dan menasihatinya, “Sesungguhnya masjid-masjid itu tidak sepantasnya untuk buang air kecil ataupun buang air besar. Masjid itu hanyalah untuk berzikir kepada Allah, shalat, dan membaca al- Qur’an.”

    Beliau mengatakan kepada para sahabatnya, “Sesungguhnya aku diutus sebagai pemberi kemudahan dan tidak diutus untuk memberi kesulitan. Guyurlah bekas air kencing itu dengan seember air!”

    Mendengar ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, A’rabi itu berdoa, “Ya Allah, kasihilah diriku dan Muhammad, dan jangan Engkau kasihi seorang pun selain kami berdua!”

    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatkan, “Engkau telah menyempitkan yang luas.” (Muttafaqun ‘alaih)

    Menunjukkan Wajah Masam

    Kadangkala, bisa pula seorang pendidik menunjukkan muka masam terhadap muridnya saat mereka gaduh, untuk menjaga jalannya pelajaran dan menjaga wibawanya. Ini lebih baik daripada menggampangkan perbuatan mereka yang seperti itu, namun akhirnya langsung menghukum mereka.

    Memberi Peringatan Keras

    Banyak guru yang mengambil jalan dengan memberi peringatan keras terhadap muridnya yang banyak tanya untuk mengulur waktu pelajaran, bermaksud meremehkan gurunya, atau melakukan kesalahan lainnya. Ketika guru telah memberi peringatan keras dan bersuara lantang, murid itu pun akan terdiam dan duduk dengan santun.

    Metode ini dilakukan oleh Rasulullah ketika melihat seseorang menggiring badanah[1]. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur, “Tunggangi unta itu!” [1]

    “Sesungguhnya unta ini badanah,” jawab orang itu.

    Rasulullah menegur lagi, “Tunggangi!”

    Akhirnya orang itu menunggangi badanahnya, berjalan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara sandalnya dia letakkan di leher untanya. (HR. al-Bukhari)

    Menyuruh Murid Menghentikan Perbuatannya

    Ketika melihat ada murid-muridnya yang bercakap-cakap saat pelajaran berlangsung, guru bisa menyuruh mereka untuk diam dengan suara yang lantang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyuruh seseorang yang bersendawa di hadapan beliau,

    Tahanlah sendawamu di hadapan kami!” (Hadits hasan, lihat Shahihul Jami’ no. 4367)

    Berpaling

    Bisa pula seorang pendidik berpaling dari anaknya atau muridnya jika melihatnya berkata bohong, memaksa meminta sesuatu yang tidak semestinya diberikan, atau kesalahankesalahan yang lain. Si anak akan merasakan sikap tidak peduli dari sang guru atau sang ayah, sehingga akan tersadar dari kesalahannya.

    Hajr (Mendiamkan)

    Seorang pendidik bisa mendiamkan anak atau muridnya jika mereka meninggalkan shalat, menonton film, atau melakukan perbuatan yang menyelisihi adab belajar. Hajr ini paling lama tiga hari, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    Tidak halal seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari.” (Sahih, lihat Shahihul Jami’ no. 753)

    Tindakan hajr ini mengandung pendidikan adab, baik bagi anak maupun murid. Seorang penyair pernah mengatakan,

    Wahai kalbu, bersabarlah dengan hajr dari orang yang kau cinta

    jangan kau putus asa karenanya, karena pendidikan kesantunan ada padanya

    Teguran Keras

    Jika nasihat dan arahan tidak memberikan hasil, pendidik boleh menegur anak atau muridnya dengan keras ketika melakukan suatu kesalahan besar.

    Duduk Qurfusha’

    Apabila seorang guru kewalahan mengatasi murid yang malas, tebal muka, atau yang semisalnya, sang guru bisa memerintahnya untuk bangkit dari tempat duduknya dan menyuruhnya duduk qurfusha’ di depan kelas, di atas kedua telapak kakinya sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. Ini bisa membuat lelah si murid dan menjadi hukuman baginya. Di samping itu, lebih utama daripada menghukumnya dengan tangan atau tongkat.

    Hukuman dari Ayah

    Apabila seorang murid terus menerus mengulangi kesalahannya, hendaknya guru menulis surat kepada wali murid tersebut dan menyerahkan hukumannya kepada sang wali terhadap si murid setelah menasihatinya. Dengan demikian, lengkaplah kerjasama antara sekolah dan rumah tangga dalam mendidik anak.

    Menggantungkan Tongkat

    Disenangi apabila seorang pendidik—baik guru maupun ayah— menggantungkan cambuk yang bisa digunakan untuk memukul dinding agar anak-anak bisa menyaksikannya dan merasa takut terhadap hukuman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    “Gantungkanlah cambuk di tempat yang bisa dilihat oleh anggota keluarga kalian, karena hal itu merupakan pendidikan adab bagi mereka.” (Dinyatakan hasan oleh al-Imam al-Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ no. 4022)

    Ucapan beliau, “bisa dilihat oleh anggota keluarga”, maksudnya agar menjadi rintangan bagi mereka melakukan berbagai kejelekan, karena takut tertimpa hukuman sebagai akibatnya.

    Ucapan beliau, “karena hal itu merupakan pendidikan adab bagi mereka”, maksudnya bisa membuat mereka bersikap santun, berakhlak dengan akhlak yang mulia dan menyandang berbagai keutamaan yang sempurna. (Faidhul Qadir, al-Munawi, 4/325)

    Pukulan Ringan

    Seorang pendidik boleh memukul dengan ringan, jika segala cara di atas tidak memberi manfaat. Lebih-lebih lagi dalam hal penunaian shalat bagi seorang anak yang telah berusia sepuluh tahun, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

    Ajari anak-anak kalian shalat ketika telah berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka karena meninggalkan shalat ketika telah berusia sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (Sahih, HR. al-Bazzar dan yang lainnya)

    Tentu amat indah pengajaran apabila disertai metode yang sesuai syariat. Karena itu, bekal berharga seperti ini sudah semestinya dimiliki oleh seorang pendidik sejati.

    Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

    (Dinukil dan diterjemahkan dengan sedikit perubahan dari kitab Nida’ ilal Murabbiyyin wal Murabbiyyat karya asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullah oleh Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran)

    [1] Badanah adalah unta yang hendak dijadikan sebagai hadyu dalam ibadah haji.

    AsySyariah.com

    [AUDIO] Marhaban Ya Ramadhan

    19.04 Add Comment
    Marhaban Ya Ramadhan | al-uyeah.blogspot.com
    Semoga kita senantiasa mendapat Rahmat dan KaruniaNya. Download kajian dengan tema "Marhaban ya Ramadhan" oleh ustadz Abu Mu'awiyah Asykari. Semoga bisa menjadi bekal kita dalam menyambut puasa Ramadhan. 


    Download Marhaban Ya Ramadhan
    Klik kanan link kemudian pilih "Save Link As". Semoga bermanfaat. Baarakallahu fiikum

    Persiapan Ramadhan Bersama Generasi As-Salafush Shalih

    18.42 Add Comment
    Persiapan Ramadhan Bersama Generasi As-Salafush Shalih | al-uyeah.blogspot.com
    Generasi as-salafush shalih mereka adalah orang-orang yang mengetahui betapa berharganya bulan yang penuh barakah ini, mereka melewati bulan tersebut dengan penuh keseriusan dan bersungguh-sungguh untuk melakukan amal shalih dengan mengharapkan ridha Allah dan mengharap ganjaran-Nya. 

    Telah tetap bahwasanya mereka dahulu berdo’a kepada Allah selama 6 bulan agar Allah menyampaikan mereka kembali kepada Ramadhan kemudian mereka juga berdo’a kepada-Nya selama 6 bulan agar Dia menerima amalan-amalan mereka.

    Abdul Aziz bin Abi Daud berkata : “Aku mendapati mereka bersungguh-sungguh dalam beramal shalih. Ketika mereka telah melakukannya, mereka pun ditimpa kekhawatiran, apakah amalan mereka diterima atau tidak.”

    Maka kemarilah wahai saudaraku yang mulia! Kita lihat sebagian keadaan para salaf ketika bulan Ramadhan dan bagaimana semangat, keinginan yang kuat, dan kesungguhan mereka dalam beribadah agar kita bisa berupaya meneladaninya, dan agar kita termasuk orang yang mengerti kedudukan bulan Ramadhan ini sehingga kita pun mau serius beramal shalih padanya.

    Pertama : ‘Ulama Salaf dan Membaca Al-Quran.

    Ibnu Rajab bekata: Dalam hadits Fathimah radhiyallahu ‘anha dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau mengabarkan kepadanya:

    أنّ جبريل عليه السلام كان يعارضه القرآن كل عام مرةً وأنّه عارضه في عام وفاته مرتين

    Sesungguhnya Jibril ‘alaihissalam menyimak Al-Qur’an yang dibacakan Nabi sekali pada setiap tahunnya, dan pada tahun wafatnya Nabi, Jibril menyimaknya dua kali. (Muttafaqun ‘Alaihi)

    Dan dalam hadits Ibnu Abbas:

    أنّ المدارسة بينه وبين جبريل كانت ليلاً

    Bahwasanya pengkajian terhadap Al-Qur’an antara beliau dengan Jibril terjadi pada malam bulan Ramadhan. (Muttafaqun ‘Alaihi).

    Hadits ini menunjukkan disunnahkannya memperbanyak membaca Al-Quran pada malam bulan Ramadhan, karena waktu malam terputus segala kesibukan, terkumpul pada malam itu berbagai harapan, hati dan lisan pada malam bisa berpadau untuk bertaddabur, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman

    إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْءاً وَأَقْوَمُ قِيلاً

    Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. (Al-Muzammil: 6)

    Bulan Ramadhan mempunyai kekhususan tersendiri dengan (diturunkannya) Al-Qur’an, sebagaimana Allah ta’ala berfirman

    شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ

    Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). (Al-Baqarah: 185) Latha’iful Ma’arif hal. 315.

    Oleh kerena itulah para ‘ulama salaf rahimahumullah sangat bersemangat untuk memperbanyak membaca Al-Qur’an pada bulan Ramadhan, sebagaimana yang dijelaskan dalam Siyar A’lamin Nubala’, di antaranya:

    1. Dahulu Al-Aswad bin Yazid mengkhatamkan Al-Qur’an pada bulan Ramadhan setiap dua malam, beliau tidur antara Magrib dan Isya’. Sedangkan pada selain bulan Ramadhan beliau mengkhatamkan Al Qur’an selama 6 hari.

    2. Al-Imam Malik bin Anas jika memasuki bulan Ramadhan beliau meninggalkan pelajaran hadits dan majelis ahlul ilmi, dan beliau mengkonsentrasikan kepada membaca Al Qur’an dari mushaf.

    3. Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri jika datang bulan Ramadhan beliau meninggalkan manusia dan mengkonsentrasikan diri untuk membaca Al Qur’an.

    4. Said bin Zubair mangkhatamkan Al-Qur’an pada setiap 2 malam.

    5. Zabid Al-Yami jika datang bulan Ramadhan beliau menghadirkan mushaf dan murid-muridnya berkumpul di sekitarnya.

    6. Al-Walid bin Abdil Malik mengkhatamkan Al-Qur’an setiap 3 malam sekali, dan mengkhatamkannya sebanyak 17 kali selama bulan Ramadhan.

    7. Abu ‘Awanah berkata : Aku menyaksikan Qatadah mempelajari Al-Qur’an pada bulan Ramadhan.

    8. Qatadah mengkhatamkan Al-Qur’an pada hari-hari biasa selama 7 hari, jika datang bulan Ramadhan beliau mengkhatamkannya selama 3 hari, dan pada 10 terakhir Ramadhan beliau mengkhatamkannya pada setiap malam.

    9. Rabi’ bin Sulaiman berkata: Dahulu Al-Imam Syafi’i mengkhatamkan Al-Qur’an pada bulan Ramadhan sebanyak 60 kali, dan pada setiap bulannya (selain Ramadhan) sebanyak 30 kali.

    10. Waki’ bin Al-Jarrah membaca Al-Quran pada malam bulan Ramadhan serta mengkhatamkannya ketika itu juga dan ditambah sepertiga dari Al Qur’an, shalat 12 rakaat pada waktu dhuha, dan shalat sunnah sejak ba’da zhuhur  hingga ashar.

    11. Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari mengkhatamkan Al Qur’an pada siang bulan Ramadhan setiap harinya dan setelah melakukan shalat tarawih beliau mengkhatamkannya setiap 3 malam sekali.

    12. Al-Qasim bin ‘Ali berkata menceritakan ayahnya Ibnu ‘Asakir (pengarang kitab Tarikh Dimasyqi): Beliau adalah seorang yang sangat rajin melakukan shalat berjama’ah dan rajin membaca Al-Qur’an, beliau mengkhatamkannya setiap Jum’at, dan mengkhatamkannya setiap hari pada bulan Ramadhan serta beri’tikaf di menara timur.

    Faidah

    Ibnu Rajab Al-Hanbali berkata: Bahwasanya larangan mengkhatamkan Al-Quran kurang dari tiga hari itu adalah apabila dilakukan secara terus menerus. Adapun pada waktu-waktu yang terdapat keutamaan padanya seperti bulan Ramadhan terutama pada malam-malam yang dicari/diburu padanya lailatul qadr atau pada tempat-tempat yang memiliki keutamaan seperti Makkah bagi siapa saja yang memasukinya selain penduduk negeri itu, maka disukainya untuk memperbanyak membaca Al-Qur’an, dalam rangka memanfaatkan (keutamaan) waktu dan tempat tersebut. Ini adalah pendapat Ahmad, Ishaq, dan selainnya dari kalangan ulama’ . (Latha’iful Ma’arif).

    Kedua : ‘Ulama Salaf dan shalat malam (tarawih)

    Shalat tarawih ini merupakan kebiasaan orang-orang shalih, perniagaan kaum mu’minin, dan amalannya orang-orang yang meraih kemenangan. Pada waktu malam orang-orang yang beriman menyendiri dengan Rabbnya, menghadap kepada Penciptanya, mengadukan keadaan mereka seraya memohon kepada-Nya keutamaan-Nya. 

    Jiwa-jiwa mereka berada di antara kedua tangan Pencitanya, beri’tikaf untuk bermunajat kepada Penciptanya. Mereka berupaya mendapat percikan cahaya dari ibadah tersebut, berharap dan bersimpuh diri atas adanya berbagai pemberian dan karunia (dari Rabbnya).

    1. Al-Hasan Al-Bashri berkata : Aku tidak mendapati suatu ibadah pun yang lebih besar nilainya daripada shalat pada pertengahan malam.

    2. Abu ‘Utsman An-Nahdi berkata: Aku bertamu kepada Abu Hurairah selama 7 hari, maka beliau, istri dan pembantunya membagi malam menjadi 3 bagian, yang satu shalat ini kemudian membangunkan yang lainnya.

    3. Dahulu Syaddad bin Aus jika beranjak untuk beristirahat di ranjangnya, kondisinya bagaikan biji yang berada di atas penggorengan (yakni tidak tenang) kemudian berdoa : Ya Allah! Sesungguhnya Jahannam (terus mengancam)! Jangan Engkau biarkan aku tidur. Maka beliau pun bangun dan langsung menuju tempat shalatnya.

    4. Dahulu Thawus melompat dari atas tempat tidurnya kemudian langsung bersuci dan menghadap qiblat (melakukan shalat) hingga datang waktu shubuh dan berkata : Mengingat Jahannam akan menghentikan tidurnya para ahli ibadah.

    5. Dari As-Saib bin Yazid dia berkata: Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dari radhiyallahu ‘anhuma mengimami manusia pada malam Ramadhan (dalam shalat tarawih). Kemudian sang imam membaca 200 ayat, hingga kami bersandar kepada tongkat-tongkat karena lamanya berdiri, tidaklah kami selesai dari shalat kecuali telah mendekati waktu shubuh. (HR. Al-Baihaqi).

    6. Dari Malik bin ‘Abdillah bin Abi Bakr, dia bekata : Aku mendengar ayahku berkata: Dahulu kami selesai dari shalat malam pada bulan Ramadhan, kami pun bersegera mempersiapkan makan karena takut datangnya waktu shubuh. (HR. Malik dalam Al Muwaththa’).

    7. Dari Dawud bin Al-Hushain, dari ‘Abdurrahman bin Hurmuz, dia berkata: Para qari’ (para imam tarawih) dahulu membaca surat Al-Baqarah dalam delapan raka’at. Maka ketika para qari’ (para imam tarawih) membacanya dalam 12 raka’at, orang-orang melihat bahwa para imam tersebut telah meringankan bacaan untuk mereka. (HR. Al Baihaqi)

    8. Nafi’ berkata: Dahulu Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma tinggal di rumahnya pada bulan Ramadhan. Ketika orang-orang telah pergi dari masjid, beliau mengambil sebuah wadah yang berisi air kemudian keluar menuju masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau tidak keluar dari masjid sampai tiba waktu shalat shubuh di masjid tersebut. (HR. Al Baihaqi)

    9. Dari Nafi’ bin ‘Umar bin Abdillah, dia berkata: aku mendengar Ibnu Abi Mulaikah berkata: Dahulu aku pernah mengimami manusia pada bulan Ramadhan, aku membaca pada suatu raka’at surat Alhamdulillahi Fathir (surat Fathir) dan yang semisalnya. Tidak sampai kepadaku bahwa ada seorang pun yang merasa keberatan dengannya. (HR. Ibnu Abi Syaibah)

    10. Dari ‘Imran bin Hudair, dia berkata: Dahulu Abu Mijlaz tinggal di sebuah perkampungan, pada bulan Ramadhan, beliau mengkhatamkan Al-Qur’an setiap tujuh hari. (HR. Ibnu Abi Syaibah)

    11. Dari Abdush Shamad, dia berkata: Abul Asyhab telah memberitakan kepadaku, dia berkata: Dahulu Abu Raja’ mengkhatamkan Al Qur’an ketika mengimami kami pada sholat malam bulan Ramadhan setiap sepuluh hari.

    Sebab-sebab bathiniyah untuk seseorang bisa bangun malam ada empat perkara

    Pertama: Selamatnya hati dari hasad terhadap kaum muslimin, selamatnya hati dari kebid’ahan dan sesuatu yang tidak bermanfaat dari perkara duniawi.

    Kedua: Senantiasa hatinya terbiasa takut disertai dengan pendek angan-angan.

    Ketiga: Mengetahui keutamaan shalat malam.

    Keempat: Ini adalah faktor pendorong yang paling mulia, yaitu cinta karena Allah dan kuatnya iman bahwasanya dalam shalatnya tersebut tidaklah dia berucap dengan satu huruf pun melainkan dia sedang bermunajat kepada Rabbnya.

    Ketiga : ‘Ulama Salaf dan sifat pemurah dan dermawan ketika menyambut bulan Ramadhan

    1. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata:

    كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أجود الناس بالخير، وكان أجود ما يكون في شهر رمضان، إنّ جبريل عليه السلام كان يلقاه في كل سنة في رمضان حتى ينسلخ فيعرض عليه رسول الله صلى الله عليه وسلم القرآن، فإذا لقيه جبريل كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أجود بالخير من الريح المرسلة.

    Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling pemurah dalam memberikan kebaikan, dan sifat pemurah beliau yang paling besar adalah ketika Ramadhan. Sesungguhnya Jibril biasa berjumpa dengan beliau, dan Jibril ‘alaihis salam senantiasa menjumpai beliau setiap malam bulan Ramadhan sampai selesai (habis bulan Ramadhan), Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membacakan padanya Al Qur’an. Ketika berjumpa dengan Jibril’ alaihissalam, beliau sangat dermawan kepada kebaikan daripada angin yang berhembus. (Muttafaqun ‘Alaihi)

    Al-Muhallab berkata: “Dalam hadits tersebut menunjukkan barakahnya beramal kebajikan dan sebagian amalan kebajikan itu akan membuka dan membantu untuk dikerjakannya bentuk amalan kebajikan yang lain. Tidakkah kamu tahu bahwa barakahnya puasa, perjumpaan (Nabi) dengan Jibril, dan dibacakannya Al-Qur’an kepadanya akan menambah kesungguhan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam beribadah dan bershadaqah sampai-sampai digambarkan lebih cepat daripada angin yang berhembus.”

    Az-Zain bin Al-Munayyir berkata: Yakni semua bentuk kebaikan beliau, baik tatkala dalam kondisi fakir dan butuh maupun dalam kondisi kaya dan berkecukupan merata lebih daripada meratanya air hujan menimpa bumi yang dihembuskan angin.

    Ibnu Rajab berkata : Asy-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu berkata: Yang paling dicintai bagi seseorang adalah semakin bertambah kedermawanannya pada bulan Ramadhan dalam rangka meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan karena kebutuhan manusia agar tercukupi keperluan-keperluan mereka, serta agar mereka tersibukkan dengan ibadah puasa dan shalat dari pekerjaan mereka.”

    2. Adalah Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berpuasa dan tidak berbuka kecuali bersama orang-orang miskin, namun jika keluarganya menghalangi mereka darinya, maka ia tidak makan pada malam itu. Jika ada seorang peminta datang kepada beliau dalam keadaan beliau sedang makan, beliau mengambil bagiannya dan memberikan kepada si peminta tersebut, beliau pun kembali dan keluarganya telah memakan apa yang tersisa di mangkuk tempat makanan. Maka beliau berpuasa pada pagi harinya dan tidak memakan sesuatu apapun.

    3. Yunus bin Yazid berkata: Dahulu Al-Imam Ibnu Syihab rahimahullah jika memasuki bulan Ramadhan, beliau isi bulan tersebut dengan membaca Al-Quran dan memberi makan.

    4. Adalah Hammad bin Abi Salamah rahimahullah memberi jamuan berbuka pada bulan Ramadhan kepada 500 orang dan setelah ‘idul fithri beliau memberi masing-masing mereka dengan 500 dirham.

    Keempat : Sedikit makan

    1. Ibrahim bin Abi Ayyub berkata : Dahulu Muhammad bin ‘Amr Al-Ghazy pada bulan Ramadhan makan hanya dua kali.

    2. Abul ‘Abbas Hasyim bin Al-Qasim berkata : Dahulu aku pernah di sisi Al-Muhtadi (salah satu khalifah Bani ‘Abbas) pada sore hari di bulan Ramadhan, kemudian aku berdiri untuk pergi, maka dia (Al Muhtadi) berkata: duduklah. Maka aku pun duduk, kemudian dia mengimami shalat. Setelah itu dia meminta untuk dihidangkan makanan, maka dihidangkanlah kepada dia satu nampan yang di dalamnya terdapat roti dan tempat yang yang berisi garam, minyak, dan cuka. Kemudian dia mengundangku untuk makan, maka aku pun makan layaknya orang yang menunggu hidangan makanan yang lain. Dia berkata: bukankah besok engkau masih berpuasa? Aku katakan: tentu. Dia berkata: makanlah dan cukupkan makanmu karena tidak ada makanan yang lain selain apa yang kamu lihat ini.

    Kelima : Menjaga lisan, sedikit bicara, menjaga diri dari dusta

    1. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda

    من لم يدع قول الزور والعمل به فليس لله حاجةٌ في أن يدع طعامه وشرابه

    Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan yang haram dan melakukan perbuatan haram, maka Allah tidak butuh kepada jerih payahnya meninggalkan makan dan minumnya. (HR. Al-Bukhari)

    Al-Muhallab berkata: Dalam hadits tersebut terdapat dalil bahwa hukum puasa itu adalah menahan diri dari perbuatan keji dan perkataan dusta sebagaimana dia menahan diri dari makan dan minum. Barangsiapa yang tidak menahan dirinya dari perkara-perkara tersebut, maka sungguh hal itu akan mengurangi nilai puasanya, menyebabkan murka Allah dan tidak diterimanya puasa dia.

    2. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

    إذا أصبح أحدكم يوماً صائماً فلا يرفث ولا يجهل فإن امرؤٌ شاتمه أو قاتله فليقل: إني صائمٌ إني صائمٌ

    Jika pada suatu hari salah seorang dari kalian berpuasa, maka janganlah berbuat keji ataupun bertindak jahil, jika ada seseorang yang mencelanya atau memusuhinya, maka katakanlah: aku sedang berpuasa, aku sedang berpuasa. (HR. Muslim)

    Al-Maziri berkata -menjelaskan kalimat ‘aku sedang berpuasa’-: mungkin juga yang dimaksud dengannya adalah dia mengajak bicara kepada dirinya sendiri dalam rangka memperingatkan dari perbuatan mencela ataupun bermusuhan.

    3. ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata :

    ليس الصيام من الطعام والشراب وحده ولكنه من الكذب والباطل واللغو والحلف

    Bukanlah puasa itu sebatas menahan diri dari makan dan minum saja, akan tetapi puasa itu menahan diri dari perkataan dusta, perbuatan bathil, sia-sia, dan sumpah yang tidak ada gunanya. (HR. Ibnu Abi Syaibah)

    4. Dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, dia berkata :

    إنّ الصيام ليس من الطعام والشراب ولكن من الكذب والباطل واللغو

    Sesungguhnya puasa itu tidaklah sebatas menahan diri dari makan dan minum saja, akan tetapi puasa itu menahan diri dari perkataan dusta, perbuatan batil dan sia-sia. (HR. Ibnu Abi Syaibah)

    5. Dari Thalq bin Qais, dia berkata: Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu berkata :

    إذا صمت فتحفظ ما استطعت

    Jika kamu berpuasa, maka jagalah dirimu semaksimal kemampuanmu.

    Adalah Thalq ketika berpuasa, dia masuk rumahnya dan tidak pernah keluar kecuali untuk mengerjakan shalat. (HR. Ibnu Abi Syaibah)

    6. Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Jika kamu berpuasa, maka jagalah pendengaran, penglihatan, dan lisanmu dari berdusta dan jagalah dirimu dari perbuatan dosa, jangan menyakiti pembantu, wajib atas kamu untuk bersikap tenang, (terlebih) pada saat kamu berpuasa, jangan kamu jadikan hari berbukamu (tidak puasa) dengan hari berpuasamu sama. (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Kitab Ash-Shiyam Bab ‘Perkara yang diperintahkan kepada orang yang berpuasa berupa sedikit bicara dan menjaga diri dari berdusta’, II/422)

    7. Dan dari ‘Atha’, dia berkata: Aku mendengar Abu Hurairah berkata: Jika kamu berpuasa, maka janganlah bertindak jahil, dan jangan mencaci maki. Jika kamu diperlakukan jahil, maka katakanlah: aku sedang berpuasa. (HR. Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf)

    8. Dan dari Mujahid, dia berkata: ada dua perangai yang barangsiapa menjaga diri darinya, puasanya akan selamat, yakni (1) ghibah, dan (2) berdusta. (HR. Ibnu Abi Syaibah)

    9. Dan dari Abul ‘Aliyah, dia berkata: Puasa itu akan bernilai ibadah selama pelakunya tidak berbuat ghibah. (HR. Ibnu Abi Syaibah)

    Keadaan Salaf terkait dengan waktu

    Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata : Wahai anak Adam! Sesungguhnya kamu itu adalah seperti hari-hari, jika satu hari telah pergi, maka telah hilanglah sebagian dari dirimu.

    Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah juga berkata : Wahai anak Adam! Waktu siangmu adalah tamumu, maka berbuat baiklah kepadanya, karena sesungguhnya jika kamu berbuat baik kepadanya, dia akan pergi dengan memujimu, dan jika kamu bersikap jelek padanya, maka dia akan pergi dalam keadaan mencelamu, demikian juga waktu malammu.

    Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah juga berkata : Dunia itu ada tiga hari: (1) Adapun kemarin, maka dia telah pergi dengan amalan-amalan yang kamu lakukan padanya, (2) adapun besok, mungkin saja kamu tidak akan menjumpainya lagi, (3) dan adapun hari ini, maka ini untukmu, maka beramallah pada saat itu juga.

    Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: Tidaklah aku menyesal terhadap sesuatu sebagaimana menyesalku ketika pada hari yang matahari telah tenggelam sementara umurku berkurang padahal amalanku tidak bertambah pada hari itu.

    Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: Menyia-nyiakan waktu itu lebih buruk daripada kematian, karena menyia-nyiakan waktu itu memutuskan kamu dari Allah dan negeri akhirat, sementara kematian itu memutuskan kamu dari dunia dan penghuninya.

    As-Suri bin Al-Muflis rahimahullah berkata: Jika kamu merasa sedih karena hartamu berkurang, maka menangislah karena berkurangnya umurmu.

    Penutup

    Kita memohon kepada Allah agar menyampaikan kita kapada Ramadhan, dan agar Allah menerima amalan-amaln kita, puasa kita, shalat malam kita, dan mudah-mudahan Allah membebaskan kita dari An Nar. Allahumma Amin.

    darussalaf.or.id