Doa Istiftah

02.54 Add Comment
Doa Istiftah | al-uyeah.blogspot.com
Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam membuka bacaan beliau dalam shalat dengan mengucapkan doa-doa yang banyak lagi beragam. Di dalamnya beliau memuji Allah Ta'ala, memuliakan-Nya dan menyanjung-Nya. Doa-doa inilah yang diistilahkan dengan doa istiftah.

Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda kepada Rifa’ah ibn Rafi’ radiyallahu'anhu, sahabatnya yang keliru dalam shalatnya (al-musi’u shalatuhu):

“Sesungguhnya tidak sempurna shalat seseorang dari manusia hingga ia berwudhu lalu meletakkan wudhunya pada tempat-tempatnya, kemudian ia bertakbir, memuji Allah Ta'ala dan menyanjung-Nya serta membaca apa yang mudah baginya dari Al-Qur’an…” (HR. Abu Dawud no. 857, dishahihkan dalam Shahih Abi Dawud)

Doa istiftah ini dibaca dengan sirr (tidak dikeraskan), dan pendapat yang rajih (kuat) hukumnya mustahab (sunnah) sebagaimana pendapat jumhur ulama dari kalangan sahabat, tabi’in, dan orang-orang setelah mereka. 

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Tidak diketahui ada yang menyelisihi pendapat ini, kecuali Al-Imam Malik rahimahullah. Beliau berkata, ‘Tidak dibaca doa istiftah ini dan tidak ada sama sekali bacaan apapun antara Al-Fatihah dan takbir. Yang seharusnya ia ucapkan adalah bertakbir: Allahu Akbar, lalu membaca Alhamdulillahi Rabbil Alamin sampai akhir dari surah Al-Fatihah.” (Al-Majmu’, 3/278)

Al-Imam Al-Albani rahimahullah berkata, “Pendapat Al-Imam Malik t ini memberikan konsekuensi batalnya tiga sunnah:

Pertama: doa istiftah

Kedua: isti’adzah (mengucapkan A’udzubillah… dst, memohon perlindungan dari gangguan setan)

Ketiga: basmalah

Padahal ini merupakan sunnah yang pasti lagi mutawatir dari Nabi Shallallahu'alaihiwasalam. Yang nampak, sunnah-sunnah ini tidak sampai kepada Al-Imam Malik rahimahullah, ataupun sampai kepada beliau akan tetapi beliau tidak mengambilnya karena suatu sebab menurut beliau.” (Ashlu Shifati Shalatin Nabi Shallallahu'alaihiwasalam, 1/239-240)

Sebagaimana telah disinggung di atas, doa-doa istiftah itu banyak dan beragam. 

Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam sendiri mengganti-ganti bacaan doa istiftahnya. Terkadang membaca doa yang ini, di kali lain membaca doa yang itu dan seterusnya. Ketika shalat fardhu beliau membaca yang satu dan ketika shalat nafilah/sunnah beliau membaca yang lainnya.

Fadhilatusy Syaikh Al-Imam Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Sepantasnya bagi seseorang beristiftah sekali waktu dengan (doa istiftah) yang ini dan di waktu lain dengan (doa istiftah) yang itu, agar ia menunaikan sunnah-sunnah seluruhnya. Dengan cara seperti itu, berarti ia juga menghidupkan sunnah serta lebih menghadirkan hati. Mengapa? Karena bila seseorang hanya membaca satu macam doa istiftah secara terus-menerus (tidak menggantinya dengan doa yang lain), niscaya hal itu akan menjadi kebiasaan baginya. Sampai-sampai saat ia bertakbiratul ihram dalam keadaan hatinya lalai (tidak perhatian dengan amalan shalatnya) sementara telah menjadi kebiasaannya beristiftah dengan “Subhanaka allahumma wa bihamdik…”, maka ia akan dapati dirinya tanpa sadar mulai membaca doa istiftah tersebut.” (Asy-Syarhul Mumti’, 3/48)

Beberapa doa istiftah yang pernah diamalkan dan diajarkan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam adalah sebagai berikut:
1. Bacaan:

اللَّهُمَّ باَعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا باَعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ، اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنْ خَطَايَايَ كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، اللَّهُمَّ اغْسِلْنِي مِنْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ

“Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahan-kesalahanku sebagaimana Engkau jauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana dibersihkannya kain yang putih dari noda. Ya Allah, cucilah aku dari kesalahan-kesalahanku dengan air, hujan es, dan air dingin.” (HR. Al-Bukhari no. 744 dan Muslim no. 1353, dari Abu Hurairah radiyallahu'anhu)
Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam biasa mengucapkan doa istiftah ini dalam shalat fardhu.

2. Bacaan:

وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ، إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ، وَمَمَاتِي لِلهِ رَبِّ الْعَلَمِيْنَ، لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَبِذلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِيْنَ. اللَّهُمَّ أَنْتَ الْمَلِكُ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ، أَنْتَ رَبِّي وَأَنَا عَبْدُكَ، ظَلَمْتُ نَفْسِي وَاعْتَرَفْتُ بِذَنْبِي، فَاغْفِرْ لِي ذَنْبِي جَمِيْعًا إِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ. وَاهْدِنِي لِأَحْسَنِ الْأَخْلاَقِ، لاَ يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ. وَاصْرِفْ عَنِّي سَيِّئَهَا, لاَ يَصْرِفُ عَنِّي سَيِّئَهَا إِلاَّ أَنْتَ. لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ، وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِي يَدَيْكَ، وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ، أَنَا بِكَ وَإِلَيْكَ، تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ

“Aku hadapkan wajahku kepada Dzat yang telah memulai penciptaan langit-langit dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya, dalam keadaan lurus mengarah kepada al-haq, lagi berserah diri, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku, ibadah sembelihanku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya, dan dengan itulah aku diperintah dan aku adalah orang yang pertama kali berserah diri(1). Ya Allah, Engkau adalah Raja, tidak ada sesembahan yang haq kecuali Engkau. Engkaulah Rabbku dan aku adalah hamba-Mu. Aku telah menzalimi diriku, dan aku mengakui dosa-dosaku, maka ampunilah dosa-dosaku seluruhnya, sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau. Tunjukilah aku kepada akhlak yang terbaik, tidak ada yang dapat menunjukkan kepada akhlak yang terbaik kecuali Engkau. Dan palingkan/jauhkanlah aku dari kejelekan akhlak dan tidak ada yang dapat menjauhkanku dari kejelekan akhlak kecuali Engkau. Labbaika (aku terus-menerus menegakkan ketaatan kepada-Mu) dan sa’daik (terus bersiap menerima perintah-Mu dan terus mengikuti agama-Mu yang Engkau ridhai). Kebaikan itu seluruhnya berada pada kedua tangan-Mu, dan kejelekan itu tidak disandarkan kepada-Mu(2). Aku berlindung, bersandar kepada-Mu dan Aku memohon taufik pada-Mu. Mahasuci Engkau lagi Mahatinggi. Aku memohon ampun kepada-Mu dan bertaubat kepada-Mu.” (HR. Muslim no. 1809 dari Ali bin Abi Thalib radiyallahu'anhu)

Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam mengucapkan doa istiftah ini dalam shalat fardhu dan shalat nafilah. Ini menyelisihi pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa doa istiftah ini dibaca dalam shalat lail (tahajud), seperti Abu Dawud Ath-Thayalisi rahimahullah dalam Musnad-Nya (23) dan Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zadul Ma’ad (1/51) mengatakan, “Yang benar, doa istiftah ini hanyalah diucapkan beliau Shallallahu'alaihiwasalam dalam qiyamul lail.” Namun pendapat yang benar sebagaimana yang telah kami sebutkan. (Ashlu Shifah Shalatin Nabi Shallallahu'alaihiwasalam, 1/249)

3. Bacaan:

وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ. إِنَّ صَلاَتِي, وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلهِ رَبِّ الْعَلَمِيْنَ، لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ، وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِيْنَ. اللَّهُمَّ أَنْتَ الْمَلِكُ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ سُبْحاَنَكَ وَبِحَمْدِكَ

“Aku hadapkan wajahku kepada Dzat yang mencipta langit-langit dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya, dalam keadaan aku lurus, condong kepada al-haq lagi berserah diri, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku, ibadah sembelihanku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya, dan dengan itulah aku diperintah dan aku adalah orang yang pertama kali berserah diri. Ya Allah, Engkau adalah Raja tidak ada sesembahan yang haq kecuali Engkau. Mahasuci Engkau dan sepenuh pujian kepada-Mu.” (HR. An-Nasa’i no. 898 dari Muhammad bin Maslamah radiyallahu'anhu. Dishahihkan dalam Shahih Ibni Majah dan Al-Misykat no. 821)

4. Bacaan:

وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ. إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلهِ رَبِّ الْعَلَمِيْنَ، لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ. اللَّهُمَّ اهْدِنِي لِأَحْسَنِ الْأَعْمَالِ وَأَحْسَنِ الْأَخْلاَقِ، لاَ يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ. وَقِنِي سَيِّئَ الْأَعْمَالِ وَسَيِّئَ الْأَخْلاَقِ، لاَ يَقِي سَيِّئَهَا إِلاَّ أَنْتَ

“Aku hadapkan wajahku kepada Dzat yang telah memulai penciptaan langit-langit dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya, dalam keadaan lurus condong kepada al-haq, lagi berserah diri, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku, ibadah sembelihanku, hidup dan matiku, hanyalah untuk Allah Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya, dan dengan itulah aku diperintah dan aku termasuk orang-orang yang berserah diri. Ya Allah, tunjukilah aku kepada amalan yang terbaik dan akhlak yang terbaik, tidak ada yang dapat memberikan petunjuk kepada amalan dan akhlak yang terbaik kecuali Engkau. Jagalah aku dari amal yang buruk dan akhlak yang jelek, tidak ada yang dapat menjaga dari amal dan akhlak yang buruk kecuali Engkau.” (HR. An-Nasa’i no. 896 dari Jabir radiyallahu'anhum. Dishahihkan dalam Shahih Ibni Majah dan Al-Misykat no. 820)

5. Bacaan:

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، وَتَبَارَكَ اسْمُكَ، وَتَعَالَى جَدُّكَ، وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ

“Mahasuci Engkau, ya Allah, dan sepenuh pujian kepada-Mu. Berlimpah keberkahan nama-Mu, Mahatinggi kemuliaan dan keagungan-Mu, dan tidak ada sesembahan yang benar kecuali Engkau.” (HR. Abu Dawud no. 776, An-Nasa‘i no. 899, dan selain keduanya dari Abu Sa’id Al-Khudri radiyallahu'anhu. Dishahihkan dalam Shahih Abi Dawud)

Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam pernah bersabda yang maknanya, “Ucapan yang paling dicintai oleh Allah adalah seorang hamba mengucapkan: سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ… (Diriwayatkan oleh Ibnu Mandah dalam At-Tauhid, 2/123. Juga diriwayatkan An-Nasa’i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah, 488/849, dengan sanad yang hasan sebagaimana dalam Ash-Shahihah no. 2939)

6. Bacaan:

(سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ, وَتَبَارَكَ اسْمُكَ, وَتَعَالَى جَدُّكَ, وَ لاَ إِلَهَ غَيْرُكَ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (ثَلَاثًا), اللهُ أَكْبَر كَبِيْرًا (ثَلَاثًا

“Mahasuci Engkau, ya Allah, dan sepenuh pujian kepada-Mu. Berlimpah keberkahan nama-Mu, Mahatinggi kemuliaan dan keagungan-Mu, dan tidak ada sesembahan yang benar kecuali Engkau. Tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah (3 kali), Allah Maha Besar (3 kali).” (HR. Abu Dawud no. 775 dari Abu Sa’id Al-Khudri radiyallahu'anhu. Dishahihkan dalam Shahih Abi Dawud)
Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam mengucapkan doa istiftah ini dalam shalat malam (tahajud).

7. Bacaan:

اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا، وَالْحَمْدُ لِلهِ كَثِيْرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً

“Allah Maha Besar, segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak. Mahasuci Allah pada waktu pagi dan petang.” (HR. Muslim no. 1357 dan yang selainnya dari Ibnu Umar radiyallahu'anhum)

Doa ini diucapkan seorang sahabat ketika beristiftah, maka Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam setelah menanyakan siapa pengucapnya, beliau bersabda, “Aku merasa kagum dengan doa tersebut! Dibukakan untuk doa tersebut pintu-pintu langit.”

8. Bacaan:

الْحَمْدُ لِلهِ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ

“Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, yang baik, lagi diberkahi di dalamnya.” (HR. Muslim no. 1356 dari Anas bin Malik radiyallahu'anhu)

Doa ini diucapkan seorang sahabat yang lain ketika beristiftah, maka Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda, “Sungguh aku melihat dua belas malaikat berlomba-lomba, siapa di antara mereka yang akan mengangkat doa tersebut.”

9. Bacaan:

اللُّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ، أَنْتَ قَيِّمُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ، وَلَكَ الْحَمْدُ، لَكَ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ فِيهِنَّ، وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ نُوْرُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ مَلِكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ الْحَقُّ، وَوَعْدُكَ حَقٌّ، وَلِقَاؤُكَ حَقٌّ، وَقَوْلُكَ حَقٌّ، وَالْجَنَّةُ حَقٌّ، وَالنَّارُ حَقٌّ، وَالنَّبِيُّوْنَ حَقٌّ، وَمُحَمّدٌ حَقٌّ، وَالسَّاعَةُ حَقٌّ، اللَّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ، وَإِلَيْكَ أَنَبْتُ، وَبِكَ خَاصَمْتُ، وَإِلَيْكَ حَاكَمْتُ، فَاغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ، أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ, لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ، وَلاَ حَوْلَ وَ لاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ

“Ya Allah, hanya milik-Mu lah segala pujian. Engkau adalah Penegak (yang menjaga dan memelihara) langit-langit dan bumi dan siapa yang ada di dalamnya. Dan hanya milik-Mu lah segala pujian, hanya milik-Mu lah kerajaan langit-langit dan bumi dan siapa yang ada di dalamnya. Hanya milik-Mu lah segala pujian, Engkau adalah pemberi cahaya langit-langit dan bumi. Hanya milik-Mu lah segala pujian, Engkau adalah Raja langit-langit dan bumi dan siapa yang ada di dalamnya. Hanya milik-Mu lah segala pujian. Engkau adalah Al-Haq (Dzat yang pasti wujudnya), janji-Mu benar, perjumpaan dengan-Mu benar, ucapan-Mu benar, surga itu benar adanya, neraka itu benar adanya, para nabi itu benar, Muhammad itu benar dan hari kebangkitan itu benar (akan terjadi). Ya Allah, hanya kepada-Mu aku berserah diri, hanya kepada-Mu aku beriman, hanya kepada-Mu aku bertawakkal, hanya kepada-Mu aku kembali, dan hanya karena-Mu aku berdebat, hanya kepada-Mu aku berhukum. Maka ampunilah dosa-dosa yang telah kuperbuat dan yang belakangan kuperbuat, ampunilah apa yang aku rahasiakan dan apa yang kutampakkan. Engkau adalah Dzat yang Terdahulu, dan Engkau adalah Dzat yang Paling Akhir, tidak ada sesembahan yang benar kecuali Engkau, tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 1120 dan Muslim no. 1805 dari Ibnu Abbas radiyallahu'anhum, lafadz yang dibawakan adalah lafadz Al-Bukhari)

Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam biasa mengucapkan doa istiftah ini dalam shalat tahajjud.

10. Bacaan:

اللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرَئِيْلَ وَمِيْكَائِيْلَ وَإِسْرَافِيْلَ، فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كاَنُوْا فِيْهِ يَخْتَلِفُوْنَ، اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيْهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ، إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ

“Ya Allah, wahai Rabb Jibril, Mikail dan Israfil! Wahai Yang memulai penciptaan langit-langit dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya! Wahai Dzat Yang mengetahui yang gaib dan yang tampak! Engkau menghukumi/memutuskan di antara hamba-hamba-Mu dalam perkara yang mereka berselisih di dalamnya. Tunjukilah aku mana yang benar dari apa yang diperselisihkan dengan izin-Mu. Sesungguhnya Engkau memberikan hidayah kepada siapa yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus.” (HR. Muslim no. 1808 dari Aisyah radiyallahu'anha)

Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam mengucapkannya dalam shalat lail (shalat malam).

11. Bacaan:

اللهُ أَكْبَرُ (عَشْرًا)، الْحَمْدُ لِلهِ (عَشْرًا)، سُبْحَانَ اللهِ (عَشْرًا), لاَ إِلَهَ إلاَّ اللهُ (عَشْرًا)، أَسْتَغْفِرُ اللهَ (عَشْراً).

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي، وَاهْدِنِي، وَارْزُقْنِي، وَعَافِنِي (عَشْرًا).

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الضِّيْقِ يَوْمَ الْحِسَابِ (عَشْرًا)

Allah Maha Besar (10 kali). Segala puji bagi Allah (10 kali). Mahasuci Allah (10 kali), tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah (10 kali), aku memohon ampun kepada Allah (10 kali).

(kemudian membaca) Ya Allah, ampunilah aku, berilah petunjuk kepadaku, berilah rezeki kepadaku dan maafkanlah aku. (10 kali)

(kemudian diteruskan dengan membaca) Ya Allah, sungguh aku berlindung kepada-Mu dari kesempitan pada hari penghisaban (perhitungan amalan).

(HR. Ahmad 6/143 dan Ath-Thabarani dalam Al-Ausath 62/2, dari Aisyah radiyallahu'anha, dengan sanad yang shahih sebagaimana dalam Ashlu Shifati Shalatin Nabi Shallallahu'alaihiwasalam, 1/267 )

Doa-doa istiftah tersebut tidak digabungkan saat dibaca

Doa-doa istiftah di atas tidak digabungkan saat dibaca, karena Nabi Shallallahu'alaihiwasalam ketika ditanya Abu Hurairah radiyallahu'anhu tentang bacaan istiftah beliau, beliau menjawab dengan bacaan:

اللَّهُمَّ باَعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ….

Beliau tidaklah menyebut doa istiftah yang lain setelah itu. Ini menunjukkan bahwa beliau tidak menggabungkan doa-doa istiftah yang ada. (Asy-Syarhul Mumti’, 3/52)

"Shifat Shalat Nabi bagian 5"
ditulis oleh: Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari
AsySyariah.com

Berdoa Ketika Sujud

02.33 Add Comment
Berdoa Ketika Sujud | al-uyeah.blogspot.com
Bismillah, ini salah satu waktu yang sangat baik untuk berdoa. Abu Hurairah radiyallahu'anhu berkata: Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

“Paling dekatnya seorang hamba dengan Rabbnya adalah ketika ia sedang sujud maka perbanyaklah oleh kalian doa ketika sedang sujud.” HR. Muslim no. 1083, kitab Ash-Shalah, bab Ma Yuqalu fir Ruku’i was Sujud

dikutip dari "Saat Pengabulan Do’a"
ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
AsySyariah.com

Allah Maha Mendengar

00.25 Add Comment
Allah Maha Mendengar | al-uyeah.blogspot.com
As-Sami’ (السَّمِيعُ) adalah salah satu Asma’ullah al-Husna. Allah Ta'ala menyebut nama-Nya yang Agung ini dalam beberapa ayat Al-Qur’an semisal dalam firman-Nya:

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (asy-Syura: 11)

“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (perkaranya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (al-Mujadilah:1)

Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam juga menyebut nama Rabbnya dalam beberapa haditsnya sebagaimana dalam riwayat berikut.

Dari Abu Musa al-Asy’ari radiyallahu'anhu, ia berkata:

“Ketika kami safar bersama Rasulullah, jika kami menaiki jalanan menanjak, maka kami mengucapkan takbir.(1) Beliau berkata, ‘Wahai manusia kasihilah diri kalian, karena kalian tidak menyeru Dzat yang tuli atau jauh. Akan tetapi, Ia Maha Mendengar dan Maha Melihat.’ 

Lalu beliau Shallallahu'alaihiwasalam mendatangiku, sementara aku sedang berucap dalam hatiku, ‘La haula wala Quwwata illa billah.’ Beliau pun berkata, ‘Wahai Abdullah bin Qais (Abu Musa), ucapkan La haula wala quwwata illa billah. Sesungguhnya hal itu adalah salah satu kekayaan yang tersimpan di surga’, atau beliau berkata, ‘Tidakkah kamu mau saya tunjuki salah satu harta kekayaan di surga? (Yakni) la haula wala quwwata illa billah’.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 5905)

As-Sa’di rahimahullah mengatakan bahwa di antara asma’ul husna-Nya adalah as-Sami’, yaitu yang mendengar segala suara dengan berbagai bahasa dan beragam kebutuhan. Yang rahasia bagi-Nya adalah nyata, yang jauh bagi-Nya adalah dekat. (Tafsir Asma’ullah al-Husna)

Pendengaran Allah Ta'ala ada dua macam:

Pertama: pendengaran-Nya yang umum terhadap seluruh suara yang lahir dan batin, yang tersembunyi dan yang jelas, sehingga Allah Ta'ala meliputinya seluruhnya secara sempurna.

Kedua: pendengaran yang khusus, yaitu pendengaran beserta ijabah dari-Nya. Pendengaran bagi orang-orang yang berdoa kepada-Nya serta hamba-hamba yang beribadah kepada-Nya. Maka Allah Ta'ala akan mengijabahi mereka dan memberi mereka pahala seperti dalam firman-Nya:

“Ya Rabb kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan kami telah mengikuti rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah).” (Ali Imran: 35)

dan firman-Nya melalui lisan Ibrahim 'alaihisalam, kekasih-Nya:

“Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua(ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Rabbku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa.” (Ibrahim: 39)

Termasuk dalam hal ini ucapan seorang yang shalat, “Sami’allahu liman hamidah” (yakni Allah Ta'ala mendengar dan mengijabahi orang yang memuji-Nya). (Tafsir Asma’llahul Husna karya as-Sa’di dan Syarah Nuniyyah karya al-Harras)

Al-Harras rahimahullah menjelaskan bahwa makna as-Sami’ adalah yang mendengar seluruh suara yang tersembunyi atau yang terang-terangan sehingga tidak ada yang tersembunyi sedikit pun darinya. Bagaimanapun tersembunyinya seluruh suara, bagi pendengaran-Nya jauh dekat sama saja. Pendengaran-Nya mendengar setiap suara, tidak tersamar baginya dan tidak tercampur.

Dalam hadits Abu Hurairah radiyallahu'anhu, ia mengatakan bahwa Nabi Shallallahu'alaihiwasalam membaca ayat ini:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (an-Nisa’:58)

Lalu beliau bersabda:

“Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Melihat, lalu beliau meletakkan ibu jarinya pada telinganya dan jari telunjuknya pada matanya.” (Sahih, HR. Abu Dawud, “Kitab as-Sunnah Bab fil Jahmiyyah”. Disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani)

Makna hadits ini adalah Allah Ta'ala mendengar dengan pendengaran dan melihat dengan mata.

Hadits ini menjadi bantahan terhadap aliran Mu’tazilah dan sebagian aliran Asy’ariyyah yang meyakini bahwa pendengaran Allah Ta'ala artinya pengetahuan Allah Ta'ala terhadap sesuatu yang terdengar, sedangkan penglihatan Allah Ta'ala artinya pengetahuan-Nya terhadap sesuatu yang dapat dilihat. Tidak diragukan lagi bahwa hal itu merupakan penafsiran yang salah.

Karena masing-masing dari pendengaran dan penglihatan adalah makna yang lebih dari sekadar pengetahuan. Bisa jadi ada pengetahuan tanpa penglihatan dan pendengaran. Seorang yang buta mengetahui adanya langit, sementara itu ia tidak melihatnya. Demikian pula orang tuli mengetahui adanya suara, sementara itu ia tidak mendengarnya.

Lebih aneh lagi pendapat kelompok Asy’ariyah yang berpandangan bahwa setiap pendengaran dan penglihatan terkait dengan semua yang ada. Bagaimana bisa dikatakan bahwa pendengaran terkait dengan sesuatu yang tidak didengar seperti orang atau warna? Bagaimana pula penglihatan terkait dengan sesuatu yang tidak bisa dilihat semacam suara-suara yang terdengar oleh telinga? (Syarah Nuniyyah)

Dengan demikian, kita harus mengimani nama Allah Ta'ala, as-Sami’ yang berarti Maha Mendengar serta sifat pendengaran Allah Mahaluas. Tidak ada suara apa pun dan di mana pun kecuali Allah Ta'ala mendengarnya dengan jelas.

Makna ini harus benar-benar kita sadari sebagaimana Aisyah radiyallahu'anha, istri Nabi Shallallahu'alaihiwasalam dan ibu kaum mukminin, sangat merasakan makna tersebut. Perhatikan penuturannya terkait dengan kisah seorang wanita yang mengadukan suaminya kepada Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam, Khaulah bintu Tsa’labah radiyallahu'anha mengadukan kejelekan akhlak suaminya yang sampai mengharamkan istrinya terhadap dirinya sehingga Allah Ta'ala menurunkan ayat:

Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (perkaranya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (al-Mujadalah: 1)

Aisyah radiyallahu'anha bertutur:

“Segala puji bagi Allah yang pendengaran-Nya meliputi segala suara. Sungguh telah datang wanita kepada Nabi mengeluhkan dan berbicara dengannya, sedangkan saya (saat itu) di salah satu sisi rumah. Saya tidak mendengar apa yang dia ucapkan. Lalu Allah turunkan firman-Nya: ‘Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan tentang suaminya.’ (al-Mujadilah: 1)” (HR. al-Bukhari secara mu’allaq [tanpa menyebutkan sanadnya dari awal] dan Ahmad)

Buah Mengimani Nama Allah l, as-Sami’

Dengan mengimani nama Allah Ta'ala, as-Sami’, kita semakin mengenal keagungan Allah 'Azza wa Jalla yang Mahasempurna sifat-Nya. Pada saat yang sama, kita sangat mengetahui kelemahan pendengaran kita yang terbatas dan mengetahui kelemahan sesembahan selain Allah Ta'ala yang tidak mampu mendengar. Oleh karena itu, sesembahan selain Allah Ta'ala dilarang diibadahi seperti nasihat Nabi Ibrahim 'alaihisalam kepada ayahnya:

Ingatlah ketika ia berkata kepada ayahnya, “Wahai ayahku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolongmu sedikit pun?” (Maryam: 42)

Allah Ta'ala juga berfirman:

“Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam serta menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Yang (berbuat) demikian Allah Rabbmu, kepunyaan-Nya lah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari biji kurma. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu. Kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu sebagaimana yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.” (Fathir: 13—14)

Sia-sialah mereka yang berdoa kepada selain Allah Ta'ala dan takkan sia-sia orang yang berdoa kepada Allah Ta'ala. Ia Maha Mendengar terhadap doa yang kita mohonkan, pengaduan yang kita panjatkan, dan ucapan yang kita bisikkan.

Dengan iman ini pula, seharusnya membuat kita berhati-hati dalam bertutur kata dan menjauhi segala ucapan yang tidak Allah Ta'ala ridhai, karena Allah Ta'ala senantiasa mendengarnya.
Wallahu a’lam.

Catatan Kaki:

1 Dalam sebagian lafadz, “Sampai kami keraskan suara kami.” (HR. al-Bukhari no. 2770)

"As-Sami’"
ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc
AsySyariah.com

Betapa Allah Mencintai Hamba-Nya

18.42 Add Comment
Betapa Allah Mencintai Hamba-Nya | al-uyeah.blogspot.com
Apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (asy-Syura: 30)

Para ulama ahli tafsir menyebutkan, ketika ayat ini turun, Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah (musibah yang menimpa pada seorang hamba) berupa goresan kayu (yang melukai badan), salah urat, terkena batu, terkilir, melainkan karena dosa, dan apa yang Dia maafkan dari dosa itu lebih banyak.” Riwayat ini diriwayatkan oleh Hannad secara mursal pada kitab az-Zuhud melalui al-Hasan al-Bashri.

Riwayat ini dikuatkan oleh riwayat dari Abu Musa al-Asy’ari yang dikeluarkan oleh at-Tirmidzi dengan lafadz, “Tidaklah suatu musibah berat atau ringan, menimpa seorang hamba melainkan karena dosa, dan yang Dia Ta'ala maafkan lebih banyak.”

Juga riwayat dari al-Bara’ bin Azib yang dikeluarkan oleh ath-Thabarani. Al-Imam as-Suyuthi rahimahullah dalam kitabnya ad-Durrul Mantsur menisbahkan riwayat tersebut dikeluarkan oleh Sa’id bin Manshur, Abd bin Humaid, Ibnul Mundzir, dan Abu Hatim.

Ibnu Sa’d meriwayatkan dari Abu Mulaikah, dari Asma’ bintu Abu Bakr ash-Shiddiq radiyallahu'anhu, beliau pernah pusing kemudian meletakkan tangannya di kepala seraya berkata, “Ini karena dosaku dan apa yang Allah Ta'ala ampuni lebih banyak.”

Penjelasan Ayat

Al-Imam ath-Thabari rahimahullah memaparkan ucapan Ibnu Abbas tentang tafsir ayat ini, “Allah Ta'ala menjadikan hukuman bagi orang-orang mukmin karena dosa-dosa mereka (di dunia) dan tidak akan menyiksa mereka di akhirat karena dosa.”

Al-Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan bahwa ayat ini diterapkan pada permasalahan hukum-hukum had (seperti qishash, rajam, dan yang lain, -pen.).

Al-Alusi rahimahullah mengatakan bahwa ayat ini tertuju secara khusus kepada para pelaku dosa dari kalangan kaum muslimin dan selain mereka. Hal ini karena orang yang tidak punya dosa, seperti para nabi, terkadang juga tertimpa musibah. Dalam hadits Nabi Shallallahu'alaihiwasalam:

أَشَدُّ النَّاسِ بَلَاءً الْأَنْبِيَاءُ، ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ

“Manusia yang paling berat cobaannya adalah para nabi, kemudian orang yang semisalnya, kemudian orang yang semisalnya.” (HR. al-Imam al-Hakim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, dan yang lain)

Jadi, musibah yang menimpa mereka adalah untuk mengangkat derajat atau untuk hikmah lain yang tidak kita ketahui.

Anak-anak dan orang gila tidak masuk dalam pembicaraan ayat ini, karena ayat ini ditujukan bagi orang-orang yang mukallaf (dibebani hukum syariat). Anggaplah mereka termasuk dalam ayat ini, tetapi mereka bukanlah termasuk para pelaku dosa, sehingga musibah yang menimpa mereka memiliki hikmah tersendiri yang tidak diketahui, bukan karena dosa.

Ada yang berpendapat, musibah yang menimpa anak-anak adalah untuk mengangkat derajat mereka dan derajat kedua orang tuanya, atau orang yang memberi kasih sayang kepada mereka dengan kesabaran yang indah.

Musibah terkadang juga menjadi hukuman atas suatu dosa dan balasan atasnya, yang kelak di hari kiamat ia tidak akan disiksa.

Asy-Syaikh as-Sa’di berkata dalam Tafsir-nya, “Dalam ayat ini, Allah Ta'ala menyatakan bahwasanya musibah apa pun yang menimpa hamba (manusia) baik pada badan, harta, maupun anak-anak mereka terhadap apa saja yang mereka senangi yang mana hal itu merupakan perkara yang sangat mereka cintai, kecuali karena perbuatan tangan mereka sendiri berupa kesalahan/dosa dan yang Allah Ta'ala maafkan darinya (kesalahan dan dosa) lebih banyak, karena Allah Ta'ala tidak menganiaya hamba (manusia). Akan tetapi, mereka lah yang menganiaya diri mereka sendiri.” Allah Ta'ala berfirman:

“(Dan) kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi ini suatu makhluk yang melata pun (manusia)” (Fathir: 45).

Diakhirkannya hukuman oleh Allah Ta'ala itu tidak berarti mereka dibiarkan (tidak diazab kelak di hari kiamat). Tidak pula berarti bahwa Allah Ta'ala tidak mampu mengazabnya.

Di Antara Kisah Umat Terdahulu

Barang siapa yang membaca Al-Qur’an akan mendapati bahwa ia memuat janji dan ancaman (al-wa’du wal wa’id), penyemangat dan pemberi rasa takut (at-targhib wa tarhib), nasihat dan peringatan (mau’izhah wa tadzkir), kisah keadaan umat yang telah lalu beserta berbagai bencana dan azab yang menimpa mereka.

Semua itu bertujuan memperingatkan manusia tentang amal dan perbuatan mereka, supaya manusia menjauhi jalan yang mereka tempuh. Dengan demikian, manusia selamat dari sebab-sebab yang mengakibatkan kebinasaan dan kehancuran.

Al-Qur’an menyebutkan berbagai macam musibah, bencana, azab, dan sebab terjadinya. Di antara ayat yang paling rinci menyebutkan tentang gempa, baik dari sisi sebab kejadian, kekuatan, akibat yang ditimbulkan, maupun arah munculnya adalah firman Allah Ta'ala:

”Sesungguhnya orang-orang sebelum mereka telah mengadakan makar, maka Allah menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya, lalu atap (rumah itu) jatuh menimpa mereka dari atas, dan datanglah azab itu kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari.” (an-Nahl: 26)

Di antara keajaiban surat an-Nahl adalah penyebutan gempa bumi secara detil. Manusia diancam dengan terjadinya gempa, jika mereka mengadakan makar yang jahat. Padahal, an-Nahl merupakan surat yang paling banyak menyebutan nikmat-nikmat Allah Ta'ala baik yang bersifat maknawi maupun hissi (fisik), berikut rincian manfaatnya.

Sampai-sampai, seorang ulama tabi’in yang mulia, Qatadah bin Di’amah as-Sadusi rahimahullah menamai dengan “Suratun Ni’am” (surat yang menyebutkan banyak kenikmatan) karena banyaknya ayat yang menyebutkan tentang kenikmatan.

Di antara nikmat yang bersifat maknawi dalam surat ini adalah wahyu, Al-Qur’an, adz-dzikr, tauhid, agama yang lurus, penjagaan dari setan, dan yang lainnya. Adapun nikmat yang bersifat hissi (yang tampak) antara lain penciptaan, rezeki, pendengaran, penglihatan, hati, makanan, minuman, pakaian, tunggangan, tempat tinggal, pernikahan, hewan ternak, matahari, rembulan, bintang, lautan, dan yang lain.

Karena itu, tidakkah manusia membayangkan bahwa surat yang dipenuhi dengan penyebutan nikmat Allah Ta'ala ini, enam ayat menyebutkan lafadz nikmat. Setelah penyebutannya, Allah Ta'ala berfirman:

“(Dan) jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya.” (an-Nahl: 18)

Kemudian Allah Ta'ala menutup penyebutan berbagai nikmat-Nya ini dengan perintah untuk mensyukurinya. Allah Ta'ala berfirman:

“Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan oleh Allah kepadamu, dan syukurilah nikmat Allah, jika hanya kepada-Nya kamu beribadah.” (an-Nahl: 114)

Allah Ta'ala kemudian menyebutkan sosok seseorang yang dapat mensyukuri nikmat Allah Ta'ala, yaitu Nabi Ibrahim 'alaihisalam supaya menjadi contoh teladan bagi yang lain. Allah Ta'ala berfirman:

”(Lagi) yang mensyukuri nikmat nikmat Allah.” (an-Nahl: 121)

Di dalam surat ini pula Allah Ta'ala menyebutkan golongan lain yang kehidupannya berlawanan. Mereka tidak mau mensyukuri nikmat Allah Ta'ala. Mereka disebutkan dalam tiga ayat, yaitu firman Allah Ta'ala:

“Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah?” (an-Nahl: 71)

“Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?” (an-Nahl: 72)

“Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang kafir.” (an-Nahl: 83)

Setelah itu, Allah Ta'ala memberi contoh suatu negeri yang penduduknya tidak mau mensyukuri nikmat. Allah Ta'ala berfirman:

“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat nikmat Allah. Oleh karena itu, Allah merasakan atas mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” (an-Nahl: 112)

Faedah yang dapat kita ambil dari pemaparan surat ini antara lain bahayanya mengkufuri nikmat Allah Ta'ala dan bahayanya melakukan sesuatu yang menjadi penyebab turunnya hukuman, siksaan, dan azab, yang kesalahan dan dosa merupakan sebab terjadinya gempa.

Pada surat ini, Allah Ta'ala mengaitkan terjadinya gempa dengan makar jahat yang dilakukan manusia. Makar jahat adalah melakukan tipu muslihat. Termasuk dalam hal ini adalah melakukan tipu muslihat terhadap syariat, yaitu upaya untuk meruntuhkan syariat, atau menghalalkan yang haram, atau memalingkan dalil-dalil Al-Qur’an dengan menafsirkan dan memaknai menurut selera manusia.

Pelajaran yang Bisa Diambil

a. Segala bentuk musibah yang menimpa manusia sebabnya adalah dosa.
b. Musibah itu bersifat umum, baik yang bersifat hissi maupun maknawi, yang berat maupun yang ringan, seperti tertusuk duri, pusing, dan yang semisalnya.
c. Allah Ta'ala memaafkan sebagian besar kesalahan manusia, dan tidak menyiksa atas semua kesalahan mereka.
d. Banyak kesalahan yang dimaafkan tidak berarti jaminan keselamatan atas hukuman/siksaan di hari kemudian. Bisa jadi, itu sebuah penundaan.
Firman Allah Ta'ala:
“Dan kalau Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi ini satu pun makhluk yang melata (manusia), akan tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka, sampai waktu yang tertentu. Apabila datang ajal mereka, sesungguhnya Allah adalah Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya.” (Fathir: 45)
e. Allah Maha Pengampun, memaafkan banyak kesalahan dan dosa, akan tetapi siksaan-Nya sangat keras dan seringnya merata. Allah Ta'ala berfirman:
“Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (al-Anfal: 25)
Wallahu a’lam bish-shawab.

Sumber:
– al-Maktabah asy-Syamilah
– Tafsir as-Sa’di
– Risalah al-‘Uqubat ar-Rabbaniyyah

"Allah Memaafkan Hambanya Tapi Keras Siksaannya"
ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin
AsySyariah.com

Sholat Berjamaah

15.33 Add Comment
Sholat Berjamaah Di Masjid | al-uyeah.blogspot.com
Seperti pada pemaparan sebelumnya, shalat berjamaah adalah syariat Allah Subhanahu wata’ala dan perkara yang disepakati oleh kaum muslimin. Hanya saja para ulama berbeda pendapat dalam hal hukumnya. Hal ini disebabkan karena perbedaan sisi pandang terhadap dalil – dalil yang ada.

Pendapat pertama menyatakan hukumnya fardhu ‘ain.

Maknanya, wajib bagi setiap individu muslim lelaki yang sudah baligh dan mampu untuk menghadirinya. Barang siapa meninggalkan berjamaah tanpa uzur, sah shalatnya namun ia berdosa. Inilah pendapat yang benar. Berikut ini beberapa dalil yang menunjukkan tentang wajibnya shalat berjamaah.

1. Dalil dari al-Qur’an di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wata’ala,

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk.” (al-Baqarah: 43)

Kata “bersama” menunjukkan makna menemani, menyertai. Jadi, ayat ini bermakna “dirikanlah shalat bersama yang lain secara berjamaah!” Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan, “Kebanyakan para ulama berdalil dengan ayat ini atas wajibnya shalat berjamaah.”

2. Dalil lain dari ayat al-Qur’an adalah firman Allah Subhanahu wata’ala,

وَإِذَا كُنتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِّنْهُم مَّعَكَ

“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) bersamamu.” (an-Nisa: 102)

Pada kalimat پ huruf lam di sini menunjukkan perintah, sedangkan asal suatu perintah adalah wajib. Yang menguatkan bahwa perintah dalam hal ini bermakna wajib ialah, Allah Subhanahu wata’ala memerintah para sahabat untuk melaksanakan shalat berjamaah, meskipun dalam kondisi takut (dalam peperangan). 

Sementara itu, pada umumnya, apabila manusia dalam kondisi takut (perang) dan kekacauan, berat bagi mereka untuk berkumpul. Dalam situasi kacau, umumnya orang lebih suka untuk tetap berada pada posisi masing-masing dalam rangka memantau musuh. Hal ini sebagaimana yang Allah Subhanahu wata’ala perintahkan,

وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ ۗ

“ Dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata.” (an- Nisa: 102)

Yang tampak dalam hal ini adalah tidak ada perbedaan antara senjata ringan dan berat, dalam keadaan suci atau najis. Para ulama berpendapat, pada saat seperti ini—karena keadaan darurat—diperbolehkan menyandang senjata meskipun dalam kondisi najis. Selanjutnya, setelah kelompok pertama menyelesaikan shalat, sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala,

فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِن وَرَائِكُمْ

“Kemudian apabila mereka (yang shalat bersamamu) telah sujud (telah menyempurnakan serakaat) maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh).” (an-Nisa: 102)

Sujud di sini bermakna mereka telah menyelesaikan shalatnya. Kemudian Allah Subhanahu wata’ala memerintah (kelompok lain yang belum shalat bersama kelompok pertama) untuk shalat berjamaah bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,

“Dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu.”

Perintah ini menunjukkan shalat berjamaah hukumnya fardhu ‘ain. Kalau saja hukumnya fardhu kifayah, akan gugurlah kewajiban kelompok yang kedua karena telah ditunaikan oleh kelompok yang pertama.

3. Adapun dalil dari as-Sunnah di antaranya adalah hadits dari Abu Hurairah zbahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَتُقَامَ ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيُصَلِّيَ بِالنَّاسِ ثُمَّ أَنْطَلِقَ بِرِجَالٍ مَعَهُمْ حُزَمٌ مِنْ حَطَبٍ إِلَى قَوْمٍ لَا يَشْهَدُونَ الصَّلَاةَ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ بِالنَّارِ

“Sungguh, aku berkeinginan untuk memerintahkan agar shalat ditegakkan, lalu aku perintahkan seorang untuk mengimami manusia. Kemudian pergi bersamaku beberapa orang sambil membawa seikat kayu bakar menuju rumah orang-orang yang tidak menghadiri shalat berjamaah, lalu aku bakar rumah-rumah mereka dengan api.” (HR. Ibnu Majah)

Hadits ini menjelaskan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah berkeinginan namun tidak melakukannya. Hal ini tidak berarti shalat berjamaah bukanlah perkara yang wajib. Kalau bukan suatu yang wajib, tidak tepat untuk dikatakan dengan ungkapan seperti itu. 

Ungkapan ini akan dianggap sia-sia dan tidak ada manfaatnya. Adapun yang menghalangi beliau melakukannya (membakar rumah) dan ilmunya ada di sisi Allah Subhanahu wata’ala adalah tidak ada yang berhak menyiksa manusia dengan api selain Rabb-nya api, yaitu Allah Subhanahu wata’ala.

4. Dalil yang lain dari sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah hadits yang memberitakan adanya seorang laki-laki buta yang meminta izin kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam  untuk tidak ikut shalat berjamaah di masjid.

أَتَى النَّبِيَّ رَجُلٌ أَعْمَى فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ،  إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى الْمَسْجِدِ. فَسَأَلَ رَسُولَ اللهِ أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ  فَرَخَّصَ لَهُ، فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ: هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَأَجِبْ

Beliau bertanya, “Apakah kamu mendengar suara azan?” Ia pun menjawab, “Ya.” Lalu beliau berkata, “Kalau begitu penuhilah (panggilan azan itu).”

Demikian pula hadits yang lain dari Ibnu Abbas  radhiyallahu ‘anhuma,

مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ فَلَا صَلَاةَ لَهُ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ

“Barang siapa mendengar azan kemudian ia tidak mendatanginya, tidak sah shalatnya kecuali karena uzur.” (HR. Ibnu Majah)

Adapun praktik perbuatan sahabat, seperti riwayat dari Ibnu Mas’ud radiyallahu'anhu beliau berkata, “Sungguh aku telah menyaksikan para sahabat, tidak ada seseorang yang tidak ikut shalat berjamaah selain munafik yang jelas kemunafikannya.

Hal ini menunjukkan bahwa mereka sangat perhatian terhadap shalat berjamaah serta berpandangan akan wajibnya dan tidak ingin menyelisihinya. Yang lebih menguatkan hukum shalat berjamaah itu wajib adalah kebaikan dan manfaat yang ada padanya. Di antara ulama yang menguatkan pendapat ini adalah Atha’, al-Auza’i, Ahmad, Abu Tsaur, Ibnu Khuzaimah, Ibnul Mundzir, Ibnu Hibban, Abul Abbas, mazhab Zhahiri, mazhab Hanbali, serta salah satu pendapat dalam mazhab Syafi’i dan Hanafi.

Pendapat kedua, hukumnya fardhu kifayah.

Yang menguatkan pendapat ini adalah mayoritas ulama mazhab Syafi’i, Hanafi, dan Maliki. Mereka berdalil dengan dalil-dalil yang dinyatakan oleh para ulama yang berpendapat tentang fardhu ‘ain. Hanya saja dalil-dalil tersebut dipalingkan kepada makna fardhu kifayah.

Ketiga, hukumnya sunnah.

Ini adalah salah satu pendapat dalam mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanafi. Hujah mereka adalah hadits,

صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

“ Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendirian dengan kelipatan 27 derajat.”

Mereka memahami kalimat “lebih utama” bermakna hanya lebih utama dan bukan wajib. 

Namun, pendalilan mereka dalam hal ini sangat lemah. Sebab, hadits ini menjelaskan pahala orang yang shalat berjamaah lebih utama dan lebih banyak, bukan menjelaskan hukum shalat (berjamaah). Pun penyebutan kalimat ”lebih utama” tidak meniadakan hukum wajibnya. Kita katakan pula, apakah beriman kepada Allah Subhanahu wata’ala itu wajib? Jawabannya, pasti wajib. Akan tetapi, Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَىٰ تِجَارَةٍ تُنجِيكُم مِّنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ () تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat meyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul- Nya serta berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya.” (ash-Shaf: 10—11)

Maksudnya, yang lebih baik dan lebih utama. Apakah akan dikatakan bahwa beriman kepada Allah Subhanahu wata’ala dan berjihad di jalan-Nya hukumnya sunnah (dengan alasan kalimat ”itulah yang lebih baik bagimu”)? Sungguh, tidak seorang pun yang berpendapat demikian. Kita katakan pula, apakah shalat Jumat hukumnya sunnah karena firman Allah Subhanahu wata’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Hal itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (al-Jumu’ah: 9)

Pasti tidak seorang pun yang mengatakan bahwa shalat Jumat hukumnya sunnah (berdalil dengan kalimat “hal itu lebih baik bagimu”).

Demikian pula hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkeinginan untuk membakar rumah-rumah orang yang tidak ikut shalat berjamaah. Mereka beralasan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mewujudkan keinginannya sehingga hal itu hanya sebagai peringatan keras, tidak sampai pada kenyataan. Jawabannya bisa dilihat pada pembahasan sebelumnya.

Dengan demikian, berdasarkan al-Qur’an, sunnah, ijma’ sahabat, pencermatan dan pemahaman terhadap masalah, disimpulkan bahwa shalat berjamaah hukumnya wajib. (Syarh al-Bukhari, al-‘Utsaimin, 3/57—58, asy-Syarhul al-Mumti’, 2/369—370, at-Tashil, 2/406—407) Wallahu a’lam.

Kajian Utama ” Hukum Shalat Berjamaah “
Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafrudin
AsySyariah.com

Antara Adzan Dan Iqomah

04.15 Add Comment
Antara Adzan Dan Iqomah | al-uyeah.blogspot.co
Anas bin Malik z berkata: Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

“Doa yang tidak tertolak adalah (doa yang dipanjatkan) antara azan dan iqamah.” HR. At-Tirmidzi no. 212, kitab Mawaqitush Shalah ‘an Rasulillah n, bab Ma Ja`a fi Annad Du’a` La Yuraddu Bainal Adzan wal Iqamah. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa` (no. 244), Al-Misykat (no. 671)

dikutip dari "Saat Pengabulan Do’a"
ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
AsySyariah.com

Sholat Sunnah Fajar (Fajr)

22.16 Add Comment
Sholat Sunnah Fajr | al-uyeah.blogspot.com
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Dua raka’at Shalat Fajr lebih baik dari pada dunia dan seisinya.” [HR. Muslim] dalam riwayat lain dengan lafazh : “Sungguh kedua raka’at tersebut lebih aku cintai daripada dunia semuanya.”

Makna Kalimat :

"Shalat Fajr" : yakni Shalat Sunnah Rawatib Qabliyah Shubuh. "lebih baik dari pada dunia" : yakni lebih baik daripada perhiasan dunia. Ada juga yang berpendapat maknanya : lebih baik daripada menginfakkan harta dunia di jalan Allah. Makna pertama lebih tepat.

Pelajaran dari Hadits :

1. Keutamaan akhirat dibanding dunia. Karena perhiasan dunia, bagaimanapun indah dan mahalnya, maka itu semua akan hilang dan sirna. Adapun akhirat, maka kenikmatannya kekal selama-lamanya dan tidak akan sirna. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

Apa yang di sisi kalian akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” [An-Nahl : 96]

Maka orang yang berakal sehat tidak akan menyibukkan dirinya dengan sesuatu yang fana dengan meninggalkan yang kekal. Namun seorang yang berakal sehat adalah seorang yang senantiasa memperhatikan dan bersemangat terhadap sesuatu yang membawa kebaikan untuk akhiratnya, dengan tetap mencari kehidupan dunia sekadar mencukupi kebutuhannya. Allah Azza wa Jalla berfirman :

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari kehidupan dunia.” [Al-Qashash : 77]

2. Betapa besar nilai pahala yang Allah berikan untuk dua rakaat shalat fajr (yakni shalat sunnah rawatib qabliyah shubuh), padahal dua raka’at tersebut adalah amalan yang ringan. Ini merupakan salah satu bentuk keutamaan dan keluasan rahmat Allah ‘Azza wa Jalla.

3. Jika seorang muslim telah mengetahui betapa besar nilai pahala shalat fajr, maka selayaknya dia untuk senantiasa menjaganya. Sungguh dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam benar menjaga shalat fajr tersebut dengan sebenar-benar penjagaan, sampai-sampai ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan :

Beliau sama sekali tidak pernah meninggalkan kedua rakaat tersebut.” beliau juga menuturkan : “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menjaga amalan nafilah lebih kuat dibanding konsistensi beliau menjaga dua rakaat fajr.

4. Tuntutan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah melaksanakan dua rakaat ini dengan ringan. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata : “Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meringankan pelaksanaan dua rakaat shalat yang dikerjakan sebelum shalat shubuh, sampai-sampai aku mengatakan, ‘Apakah beliau membaca Ummul Kitab‘?” [Muttafaqun ‘alaihi]

5. Tuntunan sunnah pada rakaat pertama setelah surat Al-Fatihah membaca surat Al-Kafirun, dan pada rakaat kedua setelah surat Al-Fatihah membaca surat Al-Ikhlash (Qul huwallahu ahad).

Atau boleh juga pada rakaat pertama membaca ayat :

Katakanlah (wahai orang-orang mukmin): “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Rabb mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya”. [Al-Baqarah : 136]

Sedangkan pada rakaat kedua membaca :

Katakanlah: “Wahai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kalian, yaitu kita tidak beribadah kecuali kepada Allah dan tidak kita persekutukan-Nya dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Rabb-Rabb selain Allah”. Kika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. [Ali ‘Imran : 64]

Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari shahabat Abu Hurairah :

Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca pada shalat dua rakaat fajr surat “Qul Ya Ayyuhal Kafirun” dan surat “Qul Huwallahu Ahad” [HR. Abu Dawud]

6. Apabila seorang muslim mengerjakan shalat fajr tersebut di rumahnya, kemudian dia merasa ingin istirahat sejenak, seperti kalau sebelumnya ia telah mengerjakan shalat tahajjud dengan sangat panjang, maka dituntunkan baginya untuk berbaring pada bagian kanan, dengan syarat dia yakin bahwa ia tidak akan ketinggalan shalat shubuh berjama’ah di masjid. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha : “Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila shalat dua rakaat fajr, beliau kemudian berbaring pada bagian kanannya.” [HR. Al-Bukhari]

7. Shalat sunnah fajr adalah shalat sunnah yang dikerjakan sebelum shalat shubuh. Apabila dia sampai ke masjid ternyata iqamat sudah dikumandangkan (sementara dia belum sempat mengerjakan shalat fajr), maka ia tetap langsung shalat shubuh berjama’ah bersama imam. Kemudian dia bisa mengerjakan shalat sunnah fajr tersebut setelah shalat berjama’ah shubuh. Atau kalau dia mau, dia menunggu sampai matahari terbit dan mengerjakannya ketika matahari sudah tinggi.

Dari shahabat Qais bin ‘Amr :

Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang pria shalat dua rakaat setelah shalat shubuh. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menegurnya, “Shalat shubuh itu hanya dua rakaat.” Maka pria tersebut menjawab, “Aku tadi belum sempat mengerjakan shalat dua rakaat yang dikerjakan sebelumnya (yakni qabliyah shubuh), maka aku mengerjakannya sekarang.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun diam (tanda setuju). [HR. Abu Dawud. Dan Al-Imam Al-Mubarakfuri mentarjih hadits ini shahih, dalam kitab beliau Tuhfatul Ahwadzi Syarh At-Tirmidzi).

"Keutamaan Shalat Fajr (Qabliyah Shubuh)"
Darussalaf.or.id

Membaca Surat Al Kahfi

05.47 Add Comment
Membaca Surat Al Kahfi | al-uyeah.blogspot.com
Di samping shalat Jum’at dan seluruh rangkaian ibadah yang menyertainya, ada beberapa amalan yang disyariatkan untuk dikerjakan padahari Jum’at, salah satunya adalah membaca surat al-Kahfi pada malam Jum’at dan siang harinya. Landasannya adalah atsar Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ فِى يَوْمِ الْجُمُعَةِ أَضَاءَلَهُ مِنَ النُّوْرِ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيْقِ

“Barangsiapa membaca surat al-Kahfi pada hari Jum’at, akan bersinar baginya cahaya antara dirinya dan Baitul Haram.” (Riwayatal-Baihaqi dalam asy-Syu’ab dan dinyatakan sahih oleh al-‘Allamah al-Albani dalam Shahih al-Jami’)

Atsar tersebut juga datang dengan lafadz yang lain, “Barang siapa membaca suratal-Kahfi pada hari Jum’at maka akan bersinar baginya cahaya antara dua Jum’at.” (Riwayat an-Nasai dalam Alyaum Wallailah, dan asy-Syaikh al-Albani menyatakan sahih dalam Shahih at-Targhib no. 735)

Adapun hadits yang menyebutkan, “Barang siapa membaca (surat) Yasin pada suatu malam, ia berada di pagi hari dalam keadaan telah diampuni. Barang siapa membaca (surat) ad-Dukhan pada malam Jum’at, ia berada di pagi hari dalam keadaan telah diampuni,” adalah hadits palsu. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnul Jauzi rahimahullah dalam al-Maudhu’at. Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Ad-Daruquthni berkata, ‘Muhammad bin Zakaria (perawi hadits ini) memalsukan hadits’.” (Lihat kitab Ahaditsul Jumu’ah hlm. 131)
 
Kajian Utama ” Amalan-Amalan yang Dianjurkan di Hari Jum’at “
Oleh : Al-Ustadz Abdul Mu’thi, Lc.
AsySyariah.com

Tanda Berpalingnya Allah

04.10 Add Comment
Tanda Berpalingnya Allah | al-uyeah.blogspot.com
‘Umar bin Abdul ‘Aziz Radhiallahu ‘anhu berkata:
“Barangsiapa beranggapan perkataannya merupakan bagian dari perbuatannya (niscaya) menjadi sedikit perkataannya, kecuali dalam perkara yang bermanfaat baginya.”

‘Umar bin Qais Al-Mula’i Radhiallahu ‘anhu berkata:
Seseorang melewati Luqman (Al-Hakim) di saat manusia berkerumun di sisinya. Orang tersebut berkata kepada Luqman: “Bukankah engkau dahulu budak bani Fulan?” Luqman menjawab: “Benar.” Orang itu berkata lagi, “Engkau yang dulu menggembala (ternak) di sekitar gunung ini dan itu?” Luqman menjawab: “Benar.”

Orang itu bertanya lagi: “Lalu apa yang menyebabkanmu meraih kedudukan sebagaimana yang aku lihat ini?” Luqman menjawab: “Selalu jujur dalam berucap dan banyak berdiam dari perkara-perkara yang tiada berfaedah bagi diriku.”

Abu ‘Ubaidah meriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri Radhiallahu ‘anhu bahwasanya beliau berkata:
“Termasuk tanda-tanda berpalingnya Allah dari seorang hamba adalah Allah menjadikan kesibukannya dalam perkara-perkara yang tidak berguna bagi dirinya.”

Sahl At-Tusturi Rahimahullahu berkata:
“Barangsiapa (suka) berbicara mengenai permasalahan yang tidak ada manfaatnya niscaya diharamkan baginya kejujuran.”

Ma’ruf Rahimahullahu berkata: 
“Pembicaraan seorang hamba tentang masalah-masalah yang tidak ada faedahnya merupakan kehinaan dari Allah (untuknya).”

(Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 1/290-294)

"Lakukanlah Hal Yang Bermanfaat"
AsySyariah.com

Kisah Tiga Orang Terjebak Dalam Gua

19.53 Add Comment
Kisah 3 Orang Terjebak Dalam Gua | al-uyeah.blogspot.com
Peristiwa ini terjadi pada zaman Bani Israil, jauh sebelum diutusnya Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam. Beliau mengisahkannya kepada kita berdasarkan wahyu dari Allah Ta'ala. Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

بَيْنَمَا ثَلاَثَةُ نَفَرٍ يَتَمَشَّوْنَ أَخَذَهُمُ الْمَطَرُ فَأَوَوْا إِلَى غَارٍ فِي جَبَلٍ فَانْحَطَّتْ عَلَى فَمِ غَارِهِمْ صَخْرَةٌ مِنَ الْجَبَلِ فَانْطَبَقَتْ عَلَيْهِمْ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ: انْظُرُوا أَعْمَالاً عَمِلْتُمُوهَا صَالِحَةً لِلهِ فَادْعُوا اللهَ تَعَالَى بِهَا، لَعَلَّ اللهَ يَفْرُجُهَا عَنْكُمْ. فَقَالَ أَحَدُهُمْ: اللَّهُمَّ إِنَّهُ كَانَ لِي وَالِدَانِ شَيْخَانِ كَبِيرَانِ وَامْرَأَتِي وَلِي صِبْيَةٌ صِغَارٌ أَرْعَى عَلَيْهِمْ فَإِذَا أَرَحْتُ عَلَيْهِمْ حَلَبْتُ فَبَدَأْتُ بِوَالِدَيَّ فَسَقَيْتُهُمَا قَبْلَ بَنِيَّ، وَأَنَّهُ نَأَى بِي ذَاتَ يَوْمٍ الشَّجَرُ فَلَمْ آتِ حَتَّى أَمْسَيْتُ فَوَجَدْتُهُمَا قَدْ نَامَا فَحَلَبْتُ كَمَا كُنْتُ أَحْلُبُ فَجِئْتُ بِالْحِلاَبِ فَقُمْتُ عِنْدَ رُءُوسِهِمَا أَكْرَهُ أَنْ أُوقِظَهُمَا مِنْ نَوْمِهِمَا وَأَكْرَهُ أَنْ أَسْقِيَ الصِّبْيَةَ قَبْلَهُمَا، وَالصِّبْيَةُ يَتَضَاغَوْنَ عِنْدَ قَدَمَيَّ، فَلَمْ يَزَلْ ذَلِكَ دَأْبِي وَدَأْبَهُمْ حَتَّى طَلَعَ الْفَجْرُ، فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ لَنَا مِنْهَا فُرْجَةً نَرَى مِنْهَا السَّمَاءَ. فَفَرَجَ اللهُ مِنْهَا فُرْجَةً فَرَأَوْا مِنْهَا السَّمَاءَ، وَقَالَ الْآخَرُ: اللَّهُمَّ إِنَّهُ كَانَتْ لِيَ ابْنَةُ عَمٍّ أَحْبَبْتُهَا كَأَشَدِّ مَا يُحِبُّ الرِّجَالُ النِّسَاءَ وَطَلَبْتُ إِلَيْهَا نَفْسَهَا فَأَبَتْ حَتَّى آتِيَهَا بِمِائَةِ دِينَارٍ فَتَعِبْتُ حَتَّى جَمَعْتُ مِائَةَ دِينَارٍ فَجِئْتُهَا بِهَا فَلَمَّا وَقَعْتُ بَيْنَ رِجْلَيْهَا قَالَتْ: يَا عَبْدَ اللهِ، اتَّقِ اللهَ وَلاَ تَفْتَحِ الْخَاتَمَ إِلاَ بِحَقِّهِ. فَقُمْتُ عَنْهَا، فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ لَنَا مِنْهَا فُرْجَةً. فَفَرَجَ لَهُمْ، وَقَالَ الْآخَرُ: اللَّهُمَّ إِنِّي كُنْتُ اسْتَأْجَرْتُ أَجِيرًا بِفَرَقِ أَرُزٍّ فَلَمَّا قَضَى عَمَلَهُ قَالَ: أَعْطِنِي حَقِّي فَعَرَضْتُ عَلَيْهِ فَرَقَهُ فَرَغِبَ عَنْهُ، فَلَمْ أَزَلْ أَزْرَعُهُ حَتَّى جَمَعْتُ مِنْهُ بَقَرًا وَرِعَاءَهَا، فَجَاءَنِي فَقَالَ: اتَّقِ اللهَ وَلاَ تَظْلِمْنِي حَقِّي. قُلْتُ: اذْهَبْ إِلَى تِلْكَ الْبَقَرِ وَرِعَائِهَا فَخُذْهَا. فَقَالَ: اتَّقِ اللهَ وَلاَ تَسْتَهْزِئْ بِي. فَقُلْتُ: إِنِّي لاَ أَسْتَهْزِئُ بِكَ، خُذْ ذَلِكَ الْبَقَرَ وَرِعَاءَهَا. فَأَخَذَهُ فَذَهَبَ بِهِ، فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ لَنَا مَا بَقِيَ. فَفَرَجَ اللهُ مَا بَقِيَ

Ketika ada tiga orang sedang berjalan, mereka ditimpa oleh hujan. Lalu mereka pun berlindung ke dalam sebuah gua di sebuah gunung. Tiba-tiba jatuhlah sebuah batu besar dari gunung itu lalu menutupi mulut gua mereka. Lalu sebagian mereka berkata kepada yang lain: “Perhatikan amalan shalih yang pernah kamu kerjakan karena Allah, lalu berdoalah kepada Allah Ta'ala dengan amalan itu. Mudah-mudahan Allah menyingkirkan batu itu dari kalian.”

Lalu berkatalah salah seorang dari mereka: “Ya Allah, sesungguhnya aku mempunyai dua ibu bapak yang sudah tua renta, seorang istri, dan anak-anak yang masih kecil, di mana aku menggembalakan ternak untuk mereka. 

Kalau aku membawa ternak itu pulang ke kandangnya, aku perahkan susu dan aku mulai dengan kedua ibu bapakku, lantas aku beri minum mereka sebelum anak-anakku. Suatu hari, ternak itu membawaku jauh mencari tempat gembalaan. Akhirnya aku tidak pulang kecuali setelah sore, dan aku dapati ibu bapakku telah tertidur. 

Aku pun memerah susu sebagaimana biasa, lalu aku datang membawa susu tersebut dan berdiri di dekat kepala mereka, dalam keadaan tidak suka membangunkan mereka dari tidur. Aku pun tidak suka memberi minum anak-anakku sebelum mereka (kedua orangtuanya, red.) meminumnya. 

Anak-anakku sendiri menangis di bawah kakiku meminta minum karena lapar. Seperti itulah keadaanku dan mereka, hingga terbit fajar. Maka kalau Engkau tahu, aku melakukan hal itu karena mengharapkan wajah-Mu, bukakanlah satu celah untuk kami dari batu ini agar kami melihat langit.”

Lalu Allah bukakan satu celah hingga mereka pun melihat langit.

Yang kedua berkata: “Sesungguhnya aku punya sepupu wanita yang aku cintai, sebagaimana layaknya cinta seorang laki-laki kepada seorang wanita. Aku minta dirinya (melayaniku), tapi dia menolak sampai aku datang kepadanya (menawarkan) seratus dinar. Aku pun semakin payah, akhirnya aku kumpulkan seratus dinar, lalu menyerahkannya kepada gadis itu. 

Setelah aku berada di antara kedua kakinya, dia berkata: ‘Wahai hamba Allah. Bertakwalah kepada Allah. Jangan engkau buka tutup (kiasan untuk keperawanannya) kecuali dengan haknya.’ Maka aku pun berdiri meninggalkannya. Kalau Engkau tahu, aku melakukannya adalah karena mengharap wajah-Mu, maka bukakanlah untuk kami satu celah dari batu ini.”

Maka Allah Ta'ala pun membuka satu celah untuk mereka.

Laki-laki ketiga berkata: “Ya Allah, sungguh, aku pernah mengambil sewa seorang buruh, dengan upah satu faraq(1) beras. Setelah dia menyelesaikan pekerjaannya, dia berkata: ‘Berikan hakku.’ Lalu aku serahkan kepadanya beras tersebut, tapi dia tidak menyukainya. Akhirnya aku pun tetap menanamnya hingga aku kumpulkan dari hasil beras itu seekor sapi dan penggembalanya. Kemudian dia datang kepadaku dan berkata: ‘Bertakwalah kepada Allah, dan jangan zalimi aku dalam urusan hakku.’

Aku pun berkata: ‘Pergilah, ambil sapi dan penggembalanya.’ Dia berkata: ‘Bertakwalah kepada Allah dan jangan mempermainkan saya.’ Aku pun berkata: ‘Ambillah sapi dan penggembalanya itu.’ Akhirnya dia pun membawa sapi dan penggembalanya lalu pergi. Kalau Engkau tahu bahwa aku melakukannya karena mengharap wajah-Mu, maka bukakanlah untuk kami apa yang tersisa.”

Maka Allah pun membukakan untuk mereka sisa celah yang menutupi.

Itulah kisah yang diceritakan oleh beliau Shallallahu'alaihiwasalam. Sebuah kisah yang di dalamnya sarat dengan pelajaran yang sangat berharga. Dalam kisah ini terkandung dalil tentang tawassul (perantara) yang dibolehkan, yaitu dengan amal shalih yang pernah dikerjakan.

Orang pertama bertawassul kepada Allah Ta'ala dengan baktinya kepada kedua orangtuanya. Dia seorang penggembala, dan makanan pokoknya tergantung kepada susu ternaknya. Kebiasaan orang ini adalah memerah susu itu sesudah dia pulang dan mulai memberi minum kepada kedua orangtuanya sebelum anak dan istrinya.

Inilah salah satu bentuk bakti kepada ibu dan bapak.

Betapa banyak di antara manusia saat ini yang berbakti kepada orangtua sesuai keridhaan anak dan istrinya. Mereka mendahulukan anak dan istrinya, kemudian baru berbakti kepada ibu bapak mereka. Yang lebih menyedihkan lagi, sebagian mereka lebih suka menitipkan ibu bapaknya di panti-panti jompo.

Tidak takutkah mereka dengan peringatan Nabi Shallallahu'alaihiwasalam dalam sebuah hadits, ketika beliau naik ke atas mimbar sambil mengucapkan amin, setiap kali menapakkan kaki di atas mimbarnya? Para sahabat yang begitu antusias dengan kebaikan, bertanya kepada Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam: “Apa yang anda aminkan, wahai Rasulullah?”

Beliau berkata: “Jibril datang kepadaku lalu berkata –di antaranya–:

رَغِمَ أَنْفُ امْرِئٍ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدَهُمَا فَلَمْ يُدْخِلاَهُ الْجَنَّةَ، قُلْتُ آمِيْن

Alangkah celakanya seseorang yang mendapati kedua orangtuanya atau salah satunya, namun keduanya tidak menyebabkan dia masuk ke dalam jannah.’ Aku pun berkata: ‘Amiin’.”(2)

Adapun kebiasaan si penggembala ini, dia menjauh untuk mencari ladang gembalaan ternaknya, dan tidak kembali kecuali sesudah malam agak larut. Dia pun memerahkan susu untuk ibu bapaknya yang ternyata telah tertidur. Dia tidak suka membangunkan mereka dan tidak mau memberikan susu itu untuk anaknya. Akhirnya dia pun berjaga sepanjang malam itu dengan susu itu masih di tangannya, sedangkan anaknya menangis di bawah kakinya.

Sungguh, hanya Allah Ta'ala yang tahu betapa sulitnya keadaan si penggembala malam itu. Jauh-jauh dia menggembalakan kambing, lalu bergegas pulang dan belum sempat makan malam, sementara anaknya menangis di bawah kakinya. Gambaran yang sangat agung yang ditunjukkan oleh iman, hingga membawanya sampai pada tingkatan demikian tinggi karena baktinya kepada ibu bapaknya dan semangatnya melakukan hal itu, sehingga menjadi salah satu sebab Allah Ta'ala membuka sedikit celah yang menutupi gua itu.

Ini adalah peringatan bagi umat ini, sekaligus anjuran agar berbakti kepada ibu bapaknya dan bersegera menjalankannya.

Kemudian Nabi Shallallahu'alaihiwasalam melanjutkan kisahnya.

Orang kedua, dia bertawassul kepada Rabbnya dengan rasa takutnya kepada Allah Ta'ala. Rasa takut itu mendorongnya untuk meninggalkan perbuatan keji dan bujukan syahwat. Dia begitu mencintai dan ingin memiliki putri pamannya, bahkan membujuk gadis itu agar mau mengikuti keinginannya, namun wanita itu menolak.

Pada suatu ketika wanita itu ditimpa kesulitan ekonomi. Hal ini mendorongnya datang menemui si pemuda. Tapi keadaan ini seolah menjadi sebuah kesempatan baik bagi si pemuda agar melampiaskan syahwatnya. Akhirnya, dia membujuk wanita agar menuruti keinginannya dan dia siap membantunya. Dengan terpaksa, wanita itu meluluskan keinginan si pemuda setelah dia menerima sejumlah uang yang cukup besar dan diserahkan sebelum dia melayani si pemuda.

Akan tetapi, di saat pemuda itu sudah siap untuk melakukan segala perkara yang hanya layak dilakukan oleh suami kepada istrinya, dan tidak ada lagi yang akan mencegah si pemuda berbuat apa yang diinginkannya terhadap tubuh wanita itu, tiba-tiba wanita itu menangis dan bergetar. 

Pemuda itu bertanya: “Ada apa?” Si wanita mengatakan bahwa dia takut kepada Allah Ta'ala, karena dia belum pernah melakukan perbuatan keji (zina) sebelum itu. Mendengar ucapan wanita tersebut, pemuda itu segera berdiri dan meninggalkan si wanita yang sangat dicintainya serta harta yang diberikannya untuk si wanita.

Itulah keimanan, yang mendorongnya meninggalkan perbuatan zina. Padahal dia mampu melakukannya, bahkan semua sarana dan fasilitas serta situasi sangat mendukung keinginannya. Tetapi, iman dan rasa takutnya kepada Allah Ta'ala menuntutnya segera meninggalkan perbuatan keji itu dan bertaubat kepada Allah Ta'ala.

Sungguh sangat disayangkan, sebagian anak-anak kaum muslimin, justru melangkah menuju perbuatan keji ini. Lebih celaka lagi, semua dikemas dengan label Islam; Pacaran Islami. Bahkan para orangtua mendukung perbuatan tersebut. Mereka merasa bangga bila anak gadisnya bergandengan atau berduaan dengan seorang pemuda, entah teman sekolahnya atau hasil perkenalan di sebuah tempat. Sementara pada diri para pemuda dan pemudinya, rasa minder akan menghinggapinya jika mereka tidak mempunyai pacar.

Jadi, seolah-olah dalam Islam perzinaan itu sah-sah saja. Na’udzu billahi min dzalik. Maha Suci Allah dari kedustaan yang mereka ada-adakan.

Tapi, lihatlah bagaimana pemuda itu. Dalam keadaan sudah hampir melakukannya, terhadap wanita yang dicintainya, tanpa ada yang merintangi. Ternyata dia segera beranjak pergi meninggalkan si wanita dan membiarkan harta itu untuknya. Itulah taubat yang membasuh dosa.

Rasa takut kepada Allah Ta'ala membuat laki-laki itu menjauhi putri pamannya itu, padahal dia adalah wanita yang paling dicintainya. Wanita yang memberi kesempatan kepada dirinya untuk berbuat apa saja, tapi juga mengingatkannya agar bertakwa kepada Allah 'Azza wa Jalla. 

Wanita itu mengingatkannya kepada Dzat yang dirinya adalah hamba sahaya-Nya. Wanita itu mengingatkannya kepada Allah: “Wahai hamba Allah, bertakwalah kepada Allah!” Artinya, buatlah antara dirimu dengan Allah Ta'ala sebuah pelindung, dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya dalam keadaan penuh rasa takut dan harap.

“Bertakwalah kepada Allah, jangan kau buka tutupnya kecuali dengan haknya,” kata wanita itu.

“Lalu aku pun berdiri meninggalkannya. Ya Allah, kalau Engkau tahu aku melakukannya karena mengharap Wajah-Mu, maka lepaskanlah kami dari batu ini.” Maka Allah Ta'ala pun memberi celah lebih lebar daripada sebelumnya, namun mereka belum dapat keluar.

Apa yang mendorongnya meninggalkan wanita itu dalam keadaan dia sudah ada di atas tubuhnya? Apa yang mencegahnya dari kemaksiatan? Tidak ada yang menghalanginya selain kokohnya sikap ta’zhim (pengagungan) kepada Allah Ta'ala dalam sanubarinya. Tidak ada yang menghentikannya selain kebesaran Rabbnya yang bertahta di hatinya, sehingga menimbulkan rasa takut dan merasa diawasi oleh Allah Ta'ala. Dia segera berdiri karena Allah Ta'ala, mengharap pahala dan takut akan siksa-Nya.

Menghormati hak orang lain. Alangkah banyak di antara manusia yang masih suka mengangkangi hak orang lain. Sementara Nabi Shallallahu'alaihiwasalam bersabda dalam sebuah hadits shahih dari Ibnu Mas’ud radiyallahu'anhu:

مَنِ اقْتَطَعَ مَالَ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِغَيْرِ حَقٍّ لَقِيَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ

“Siapa yang mengambil harta seorang muslim tanpa alasan yang haq, niscaya dia bertemu dengan Allah Ta'ala dalam keadaan Dia sangat murka kepadanya.” (HR. Ahmad)

Bayangkanlah hari yang sangat dahsyat tersebut. Ketika manusia dikumpulkan dalam keadaan tidak beralas kaki, tidak berpakaian, dan tidak berkhitan, di saat kita sangat membutuhkan karunia dan rahmat Allah Ta'ala. Dalam hadits lain yang hampir serupa dengan ini, terkait dengan sumpah, mereka bertanya kepada Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam: “Walaupun sebatang kayu arak –untuk siwak–?”

Kata beliau: “Walaupun hanya sebatang kayu arak.”

Artinya, seandainya kita mengambil sebatang kayu arak dari seorang muslim dalam keadaan dia tidak senang kamu mengambilnya, niscaya kita akan bertemu dengan Allah Ta'ala dalam keadaan dia murka. Lantas, di mana sikap ta’zhim (pengagungan) kepada Allah Ta'ala dari orang-orang yang berbuat zalim seperti ini?

Seandainya dia memiliki sikap ta’zhim kepada Allah Ta'ala, tentulah dia seperti orang yang diceritakan oleh Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dalam hadits ini. Kita perhatikan kisah tentang orang ketiga ini.

Dia menyewa seorang buruh agar bekerja dengan upah yang telah ditentukan, tetapi pekerja itu tidak jadi mengambil upahnya. Dia malah pergi tanpa membuat kesepakatan dengan majikannya agar upahnya dikembangkan. Namun, kedermawanan majikan tersebut mendorongnya mengolah upah buruh tadi sehingga bertambah banyak.

Tak lama, dari upah buruh tadi yang tidak seberapa, harta itu berkembang menjadi berlimpah. Kemudian datanglah si buruh menagih upah yang dahulu dia tinggalkan. Oleh si majikan, harta yang berasal dari upah si buruh diserahkan seluruhnya kepada buruh tersebut.

Dia berkata: “Lalu aku berikan kepada buruh itu semua yang telah aku kembangkan dari upahnya. Andai aku mau tentulah tidak aku berikan kepadanya melainkan upahnya semata.” Artinya, dia kuasa untuk tidak memberi buruh tadi harta yang sudah dikembangkannya dalam waktu cukup lama. Akan tetapi, dengan sikap pemurahnya itu, dia menyerahkan semua harta yang diperoleh dari upah buruh tersebut.

Lalu dia pun berkata: “Ya Allah, kalau Engkau tahu aku melakukannya demi mengharap rahmat-Mu dan takut akan siksa-Mu, maka lepaskanlah kami.” Maka batu itu pun bergeser dan mereka berjalan keluar dari gua tersebut.

Melalui kisah ini pula kita dapatkan bahwa selamat dari petaka/bencana adalah balasan atas amal perbuatan yang shalih. Betapa besar ganjaran yang diterima oleh mereka yang jujur dan amanah dalam bermuamalah.

Majikan yang jujur dan amanah yang mengembangkan upah buruhnya adalah cermin bagi kita melihat betapa langkanya kejujuran dan amanah itu di sekitar kita saat ini. Dia menyerahkan semua harta yang dihasilkan dari pengembangan upah buruhnya, tanpa meminta imbalan atau bagian atas upayanya mengembangkan upah buruh tersebut. Sementara di sekitar kita, hal ini justru menjadi peluang untuk memperoleh harta tambahan. Wallahul Musta’an.

Alangkah tepat ungkapan ini:
Bersabarlah dengan kesabaran yang indah, alangkah dekatnya jalan keluar
Siapa yang senantiasa yakin diawasi oleh Allah dalam semua urusan pasti selamat
Siapa yang jujur terhadap Allah tentu tidak akan celaka
Dan siapa yang mengharapkan-Nya tentu Dia ada di mana pun diharap

Jelaslah, dari hadits ini bahwa ketiga laki-laki mukmin ini, di saat mereka ditimpa malapetaka dan keadaan mengimpit mereka, serta putus asa akan datangnya kelonggaran dari semua jalan selain jalan Allah Tabaraka wa Ta’ala satu-satunya, maka mereka pun berlindung dan berdoa kepada-Nya dengan ikhlas, serta menyebutkan amalan-amalan shalih mereka yang dahulu biasa mereka ingat kepada Allah Ta'ala pada waktu-waktu senang, sambil mengharapkan agar Allah Ta'ala mengetahui keadaan mereka di saat-saat yang sulit. Sebagaimana hadits Nabi Shallallahu'alaihiwasalam:

تَعَرَّفْ إِلَى اللهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي الشِّدَّةِ

“Ingatlah kepada Allah ketika dalam keadaan senang, tentu Dia mengingatmu pada saat-saat yang sulit.”(3)

Wallahu a’lam.

1 Kira-kira 16 ritl. Ritl adalah ukuran yang dipakai untuk menimbang, dan takarannya berbeda antara satu negeri dengan negeri lainnya. Di Mesir misalnya, 1 ritl= 12 uqiyah, 1 uqiyah= 12 dirham. 1 dirham sendiri = 3,98 gram perak, berarti 1 faraq sekitar 9,17 kg.  Adapula yang berpendapat 1 uqiyah= 40 dirham, sehingga 1 faraq sekitar 30,5 kg.
2 Shahih Adabul Mufrad (no. 503), dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah.
3 HR. Ahmad dari Ibnu ‘Abbas c dan sanadnya sahih dengan syawahid, lihat Zhilalul Jannah fi Takhrij As-Sunnah (hal. 138), karya Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah.

"Kisah Orang-Orang yang Terkurung didalam Gua"
ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits
AsySyariah.com

Jazzakallah Khoir

00.21 Add Comment
Jazaakallah Khoir | al-uyeah.blogspot.com
Berterima kasih atas pemberian orang lain adalah perangai terpuji. Setiap muslim hendaknya menghiasi diri dengannya. Allah Ta'ala berfirman:

“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” (ar-Rahman: 60)

Adalah Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam memerintahkan umatnya agar membalas kebaikan orang lain, sebagaimana sabdanya:

مَنْ صُنِعَ إِلَيْهِ مَعْرُوْفٌ فَلْيَجْزِهِ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ مَا يَجْزِيْهِ فَلْيُثْنِ عَلَيْهِ، فَإِنَّهُ إِذَا أَثْنَى عَلَيْهِ فَقَدْ شَكَرَهُ وَإِنْ كَتَمَهُ فَقَدْ كَفَرَهُ …

“Barangsiapa diperlakukan baik (oleh orang), hendaknya ia membalasnya. Apabila dia tidak mendapatkan sesuatu untuk membalasnya, hendaknya ia memujinya. Jika ia memujinya maka ia telah berterimakasih kepadanya namun jika menyembunyikannya berarti dia telah mengingkarinya ….” (HR. al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad, lihat Shahih al-Adab al-Mufrad no. 157)

Pada umumnya, seseorang merasa berat hati untuk mengeluarkan tenaga, harta, waktu, dan yang semisalnya jika tidak ada imbal balik darinya. Oleh karena itu, barangsiapa yang mencurahkan semua itu untuk saudaranya dengan hati yang tulus, orang seperti ini berhak dibalas kebaikannya dan disyukuri pemberiannya.

Apabila kita diperintahkan untuk berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat kepada kita dan memaafkannya, tentu balasan orang yang berbuat baik kepada kita hanyalah kebaikan.

Perlu diketahui juga, dalam Islam orang yang memberi lebih baik daripada orang yang menerima. Nabi Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى

“Tangan yang di atas (pemberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (penerima pemberian).” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Oleh karena itu, hendaknya kita menjadi umat yang suka memberi daripada banyak menerima. Jika kita menerima pemberian, berbalas budilah, karena seperti itulah contoh dari Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam. ‘Aisyah radiyallahu'anha berkata, “Adalah Rasulullah menerima hadiah (pemberian selain shadaqah) dan membalasnya.” (Shahih al-Bukhari no. 2585)

Berbalas budi—di samping merupakan perangai yang disukai oleh Islam dan terpuji di tengah masyarakat—adalah salah satu cara untuk mencegah timbulnya keinginan mengungkit-ungkit pemberian yang bisa membatalkan amal pemberiannya.

Bentuk Balas Budi

Bentuk membalas kebaikan orang sangat banyak ragam dan bentuknya. Tentu saja setiap orang membalas sesuai dengan keadaan dan kemampuannya. Jika seseorang membalas dengan yang sepadan atau lebih baik, inilah yang diharapkan. Jika tidak maka memuji orang yang memberi di hadapan orang lain, mendoakan kebaikan dan memintakan ampunan baginya, juga merupakan bentuk membalas kebaikan orang.

Dahulu, orang-orang Muhajirin datang kepada Nabi Shallallahu'alaihiwasalam dengan mengatakan, “Wahai Rasulullah, orang-orang Anshar telah pergi membawa seluruh pahala. Kami tidak pernah melihat suatu kaum yang paling banyak pemberiannya dan paling bagus bantuannya di saat kekurangan selain mereka. Mereka juga telah mencukupi kebutuhan kita.” Nabi Shallallahu'alaihiwasalam menjawab, “Bukankah kalian telah memuji dan mendoakan mereka?” Para Muhajirin menjawab, “Iya.” Nabi bersabda, “Itu dibalas dengan itu.” (HR. Abu Dawud dan an-Nasai, lihat Shahih at-Targhib no. 963)

Maksudnya, selagi orang-orang Muhajirin memuji orang-orang Anshar karena kebaikan mereka, para Muhajirin telah membalas kebaikan mereka.

Di antara bentuk pujian yang paling bagus untuk orang yang berbuat baik adalah ucapan:

جَزاكَ اللهُ خَيْرًا

“Semoga Allah membalas kamu dengan kebaikan.”

Nabi Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

مَنْ صُنِعَ إِلَيْهِ مَعْرُوْفٌ فَقَالَ لِفَاعِلِهِ: جَزَاكَ اللهُ خَيْرًا؛ فَقَدْ أَبْلَغَ فِى الثَّنَاءِ

Barang siapa diperlakukan baik lalu ia mengatakan kepada pelakunya, “Semoga Allah membalas kamu dengan kebaikan”, dia telah tinggi dalam memujinya.” (Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 2035, cet. al-Ma’arif)

Mensyukuri yang Sedikit Sebelum yang Banyak

Seseorang belum dikatakan mensyukuri Allah Ta'ala jika belum berterimakasih terhadap kebaikan orang. Hal ini seperti yang disabdakan oleh Nabi Shallallahu'alaihiwasalam:

لَا يَشْكُرُ اللهَ مَنْ لَا يَشْكُرُ النَّاسَ

“Tidak bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterimakasih kepada manusia.” (HR. Al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad dari sahabat Abu Hurairah radiyallahu'anhu, dan Abu Dawud dalam Sunan-nya)

Hadits ini mengandung dua pengertian:

1. Orang yang tabiat dan kebiasaannya tidak mau berterimakasih terhadap kebaikan orang, biasanya dia juga mengingkari nikmat Allah Ta'ala dan tidak mensyukuri-Nya.

2. Allah Ta'ala tidak menerima syukur hamba kepada-Nya apabila hamba tidak mensyukuri kebaikan orang, karena dua hal ini saling berkaitan.

Ini adalah makna ucapan al-Imam al-Khaththabi seperti disebutkan dalam ‘Aunul Ma’bud (13/114, cet. Darul Kutub al-Ilmiyah).

Orang yang tidak bisa mensyukuri pemberian orang meskipun hanya sedikit, bagaimana ia akan bisa mensyukuri pemberian Allah Ta'ala yang tak terbilang?! Allah Ta'ala berfirman:

“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya.” (an-Nahl: 18)

Orang-orang yang Harus Disyukuri Pemberiannya

Di antara manusia yang wajib disyukuri kebaikannya adalah kedua orang tua. Ini sebagaimana firman Allah Ta'ala:

Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu.” (Luqman: 14)

Kedua orang tua telah mengorbankan semua miliknya demi kebaikan anaknya. Mereka siap menanggung derita karena ada seribu asa untuk buah hatinya. Oleh karena itu, sebaik apa pun seorang anak menyuguhkan berbagai pelayanan kepada kedua orang tuanya, belumlah mampu membalas kebaikan mereka, kecuali apabila mereka tertawan musuh atau diperbudak lalu sang anak membebaskannya dan memerdekakannya. Hak kedua orang tua sangatlah besar sehingga sangat besar pula dosa yang ditanggung oleh seseorang manakala mendurhakai kedua orang tuanya.

Demikian pula, kewajiban seorang istri untuk berterimakasih kepada suaminya sangatlah besar. Seorang suami telah bersusah-payah mencarikan nafkah serta mencukupi kebutuhan anak dan istrinya. Oleh karena itu, seorang istri hendaknya pandai-pandai berterimakasih atas kebaikan suaminya. Jika tidak, dia akan diancam dengan api neraka.

Dahulu ketika melakukan shalat gerhana, diperlihatkan surga dan neraka kepada Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam. Diperlihatkan kepada beliau Shallallahu'alaihiwasalam api neraka yang ternyata kebanyakan penghuninya adalah wanita. Nabi Shallallahu'alaihiwasalam menyebutkan bahwa sebabnya adalah mereka banyak melaknat dan mengingkari kebaikan suaminya. (Lihat Shahih Muslim no. 907)

Nabi Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ وَأَكْثِرْنَ مِنَ الْإِسْتِغْفَارِ فَإِنِّي رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ

“Wahai para wanita, bersedekahlah kalian dan perbanyaklah istighfar (meminta ampunan kepada Allah), karena aku melihat kalian terbanyaknya penghuni neraka.”

Ketika Nabi Shallallahu'alaihiwasalam menyampaikan wasiat tersebut, ada seorang wanita bertanya, “Mengapa kami (para wanita) menjadi mayoritas penghuni neraka?” Beliau menjawab, “Kalian banyak melaknat dan mengingkari (kebaikan) suami.” (Mukhtashar Shahih Muslim no. 524)

Apabila seorang istri disyariatkan untuk mengingat kebaikan suaminya, demikian pula seorang suami hendaknya mengingat-ingat kebaikan istrinya.

Adalah Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam senantiasa mengingat-ingat jasa dan perjuangan istrinya tercinta, Khadijah bintu Khuwailid radiyallahu'anha.

Hal ini seperti yang disebutkan oleh ‘Aisyah radiyallahu'anha, “Aku belum pernah merasa cemburu terhadap istri-istri Nabi seperti cemburuku atas Khadijah radiyallahu'anha, padahal aku belum pernah melihatnya. Akan tetapi, Nabi sering menyebutnya. Terkadang beliau menyembelih kambing lalu memotong bagian kambing itu dan beliau kirimkan kepada teman-teman Khadijah. Terkadang aku berkata kepada Nabi, ‘Seolah tidak ada wanita di dunia ini kecuali selain Khadijah!’ Nabi Shallallahu'alaihiwasalam lalu bersabda, ‘Sesungguhnya Khadijah dahulu begini dan begitu (beliau menyebut kebaikannya dan memujinya). Saya juga mempunyai anak darinya’.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Di sini, Nabi Shallallahu'alaihiwasalam mengingat-ingat kebaikan istri beliau yang pertama yang memiliki setumpuk kebaikan. Dialah Khadijah. Ia termasuk orang yang pertama masuk Islam, membantu Nabi Shallallahu'alaihiwasalam dengan hartanya, dan mendorong Nabi Shallallahu'alaihiwasalam untuk senantiasa tegar menghadapi setiap masalah. Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim selalu menjaga kebaikan istrinya, temannya, dan kawan sepergaulannya dengan mengingat-ingat kebaikan mereka dan memujinya.

Ada contoh lain dari praktik salaf umat ini dalam membalas kebaikan orang lain. Sahabat Jarir bin Abdillah al-Bajali radiyallahu'anhu sangat kagum dengan pengorbanan orang-orang Anshar. Oleh karena itu, ketika melakukan perjalanan dengan sahabat Anas bin Malik radiyallahu'anhu—yang termasuk orang Anshar—, sahabat Jarir radiyallahu'anhu memberikan pelayanan dan penghormatan kepada Anas radiyallahu'anhu, padahal Jarir radiyallahu'anhu lebih tua darinya. Anas menegur Jarir supaya tidak memperlakukan dirinya dengan perlakuan istimewa. Akan tetapi, Jarir radiyallahu'anhu beralasan bahwa orang-orang Anshar telah banyak berbuat baik kepada Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam sehingga ia (Jarir) bersumpah akan memberikan pelayanan dan pernghormatan kepada orang-orang Anshar. (Lihat Shahih Muslim no. 2513)
Wallahu a’lam.

"Membalas Kebaikan Orang Lain"
ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Mu’thi, Lc.
AsySyariah.com